Novel The Hole karya Hye-Young Pyun adalah karya psikologis yang gelap, sunyi, dan menghantui. Pemenang Shirley Jackson Award tahun 2017 ini membawa pembaca menyelami penderitaan fisik dan batin dari seorang pria yang terkurung tak hanya secara tubuh, tetapi juga pikiran.
Ogi merupakan seorang professor di sebuah universitas. Ia mengalami kecelakaan hingga membuat istrinya meninggal. Akibat kecelakaan itu, ia akhirnya lumpuh dan dirawat oleh ibu mertuanya.
Di sana, Oghi tidak hanya menghadapi keterbatasan tubuhnya, tetapi juga ketegangan psikologis yang perlahan-lahan memburuk.
Pembaca seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Oghi. Tubuhnya yang tidak berdaya dan terdiam diri di ranjang membuatnya merasakan terisoloasi dari kehidupannya sendiri.
Ketegangan meningkat saat ibu mertua Oghi mulai menunjukkan perilaku ganjil. Ada hal-hal yang terasa janggal dari caranya berbicara, dari kalimat-kalimat sindiran yang seperti menyimpan kebencian lama.
Ia mulai menggali lubang besar di taman, sebuah tindakan yang absurd tapi mengandung rasa was-was yang sulit dijelaskan. Apa yang sebenarnya ia rencanakan? Untuk siapa lubang itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di kepala, menciptakan rasa gelisah yang konstan.
Ia bisa dibaca sebagai kekosongan besar dalam hidup Oghi setelah ditinggal mati istrinya, atau sebagai lubang dalam jiwanya yang tak bisa lagi bergerak, merasa, ataupun mencintai.
Ibu mertuanya juga bukan tokoh antagonis satu dimensi. Ia hadir sebagai figur yang muram, misterius, dan penuh amarah yang tak tersuarakan.
Nunsa tegang dalam novel ini memang dibangun secara perlahan. Tidak ada adegan mengejutkan yang besar. Tapi, disitulah letak suasana yang menakutkan.
Hye-Young Pyun mempermainkan perasaan tak nyaman pembaca dengan sunyi yang menggantung dan ruang sempit yang menyesakkan.
Gaya narasi dalam The Hole terasa dingin dan terukur, memperkuat suasana hampa dan menyeramkan yang menjadi inti cerita.
Proses tarik-ulur dalam alur cerita ini sangat menegangkan. Di saat kita merasa sudah tahu ke mana arahnya, ada saja momen yang melawan asumsi itu. Dan ketika semuanya mencapai puncak, The Hole justru memilih tidak memberi jawaban. Ending-nya menggantung, penuh ambiguitas.
Namun justru di situlah kekuatan novel ini. Ia membuat pembaca bergulat dengan perasaan tak nyaman, tanpa memberikan jalan keluar yang jelas.
Hye-Young Pyun menghadirkan ketegangan yang tidak meledak-ledak dalam The Hole, tapi justru menjalar pelan, menyusup dari celah terkecil, seperti bisikan yang tak kunjung hilang. Awalnya memang terasa lambat, namun dari kelambatan itulah muncul suasana yang mencekam.
The Hole bukan sekadar kisah tentang kecelakaan atau balas dendam. Ini adalah potret mendalam tentang keterasingan, rasa bersalah, dan kehampaan yang perlahan menggerogoti jiwa.
Hye-Young Pyun menulisnya dengan premis yang dingin. Suasana horror yang dibangun tumbuh dari hal-hal kecil seperti rutinitas yang ada.
Ketegangan dibangun dari ketiadaan, dan justru karena itulah terasa begitu nyata. Novel ini tidak menawarkan kenyamanan atau jawaban, hanya cermin gelap yang memantulkan luka manusia.
Sebuah bacaan yang memaksa kita untuk bertanya, seberapa jauh seseorang bisa bertahan dalam kesunyian yang tak berpihak? Dan ketika semua hilang, apa yang tersisa dari kita?
Secara keseluruhan, The Hole menjadi novel dengan kisah misteri namun penuh perasaan emosional. Kisah tentang kegagalan yang dialami seseorang, kemudian memendamnya alam waktu yang lama sampai akhirnya membuatnya terpuruk dalam rasa penyesalan.
Untuk kalian yang mencari novel Korea dengan suasana horror yang tidak terlalu mencekam tapi dampak psikologis yang cukup terasa, novel ini wajib masuk list bacaanmu.