Review Jujur Film Omniscient Reader: The Prophecy, Lagi Tayang di Bioskop

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Jujur Film Omniscient Reader: The Prophecy, Lagi Tayang di Bioskop
Poster Film Film Omniscient Reader: The Prophecy (Dokumentasi Pribadi/ Athar Farha)

Film ini datang dengan hype tinggi. Wajar saja, sumber aslinya punya basis fans yang luar biasa besar. Namun, seperti biasa, adaptasi nggak cuma mindahin cerita dari medium satu ke lainnya. Ada banyak penyesuaian, banyak potongan, dan tentu banyak ekspektasi. Mungkin inilah yang membuat film ini diguncang kontroversi akibat ketidaksesuaian dengan materi asli. 

Sayangnya, aku bukan pembaca dari web novelnya (Omniscient Reader’s Viewpoint), jadi aku akan lebih fokus mengupas filmnya yang diberi judul: Omniscient Reader: The Prophecy.

Apakah film ini bisa berdiri tegak sebagai tontonan mandiri, atau hanya akan jadi “fan service” setengah matang? Yuk, kepoin lebih dalam lagi. 

Sinopsis Film Omniscient Reader: The Prophecy

Tayang 31 Juli 2025 di bioskop Indonesia, kisahnya tentang Kim Dokja. Bukan pahlawan, bukan tentara, apalagi manusia super. Dia hanya pegawai kantoran biasa, tipe cowok introvert yang lebih nyaman hidup di dunia fiksi ketimbang realita.

Rutinitas hidupnya berubah drastis saat dia tiba-tiba menyadari dunia di sekelilingnya mulai meniru cerita dari web novel favoritnya, Three Ways to Survive the Apocalypse (TWSA). Suara pengumuman di dalam kereta, makhluk-makhluk aneh, hingga struktur misi bertahan hidup, semuanya sama persis dengan isi novel yang dulu hanya dia baca lewat ponsel.

Bermodal ingatan sebagai pembaca setia, Dokja mencoba bertahan hidup dan bahkan berperan aktif dalam membentuk arah cerita. Dia bertemu dengan Yoo Joonghyuk, karakter utama dari novel, serta sejumlah tokoh lain yang juga terjebak di dunia baru ini. Petualangan mereka pun dimulai.

Seru, sih, tapi ….

Review Film Omniscient Reader: The Prophecy

Ahn Hyo-seop mengambil peran sebagai Kim Dokja, dan bisa dibilang ini salah satu keputusan casting yang cukup tepat. Dia memulai peran dengan pembawaan kalem, sedikit kikuk, lalu perlahan berubah jadi seseorang yang lebih tangguh dan berpikiran strategis. 

Transisi ini nggak terasa terburu-buru. Aku bisa ikut menyaksikan perkembangan mental dan emosionalnya, lengkap dengan momen panik, haru, sampai putus asa.

Sayangnya, nggak semua karakter dapat perlakuan yang sama. Lee Min-ho, yang memerankan Yoo Joonghyuk (karakter original dari novel fiksi di dalam cerita) terlihat kuat secara fisik, tapi karakternya terasa terlalu satu dimensi. Dia lebih sering tampil sebagai ‘petarung pendiam yang dingin’, dan meskipun itu memang persona aslinya di novel, durasi tampilnya yang terbatas membuat karakternya kehilangan kedalaman dan ruang eksplorasi.

Sementara itu, Jisoo yang memerankan Lee Ji-hye justru kebagian peran yang jauh lebih kecil dibanding promosi yang masif sebelumnya. Fans berat Jisoo mungkin akan sedikit kecewa karena ekspektasi mereka nggak terpenuhi, termasuk diriku. 

Kalau Sobat Yoursay datang untuk aksi dan visual, film ini cukup ngasih pengalaman seru. Koreografi pertarungannya dinamis, baik dalam adegan perkelahian jarak dekat maupun skala besar dengan latar kehancurannya. CGI-nya jelas nggak main-main. Desain monster, efek ledakan, dan tata kamera membuat dunianya terasa nyata dan menegangkan.

Yang menarik, atmosfer film ini nggak terlalu warna-warni ala webtoon. Sebaliknya, nuansa gelap, dingin, dan penuh tekanan dibangun lewat tone warna dan pencahayaan yang pas. Ini ngasih kesan yang lebih dewasa dan grounded, walaupun membuat beberapa fans mungkin rindu dengan tampilan dramatis khas ilustrasi webtoon-nya.

Salah satu langkah berani dari film ini terkait menyederhanakan banyak aspek dunia dan sistem yang kompleks dari versi web novelnya. 

Dalam versi asli, Kim Dokja tuh ‘pemain catur’ yang punya akses informasi lengkap, skill kompleks, dan strategi untuk mengontrol arah cerita. Namun, di film dia lebih didekati sebagai ‘orang biasa dengan pengetahuan ekstra’. Nggak ada sistem skill yang terlalu rumit, nggak ada mekanisme power-up yang membingungkan, dan semua berjalan cukup linear. 

Untuk penonton awam, ini oke-oke saja, karena membuat cerita lebih bisa dinikmati tanpa perlu baca dulu. Sementara bagi fans, tentu ini bikin elemen strategis dan intelektual dari Dokja jadi terasa hambar, dan inilah kontroversinya. 

Meski banyak yang dikorbankan, film ini tetap menjaga benang merah dari cerita aslinya, terkait konsep dunia yang berubah secara drastis, tokoh yang tumbuh dari bawah, dan konflik antara takdir dan pilihan pribadi. Dan yang paling penting, film ini cukup pintar dalam menjaga pace. Cerita bergerak cepat, nyaris tanpa jeda membosankan, dan menyajikan momen-momen menegangkan di waktu yang tepat.

Sayangnya, semuanya masih di tahap pengenalan. Film ini seperti membuka pintu ke dunia besar yang penuh misteri, tapi belum mengajak penonton masuk lebih dalam. Banyak potensi karakter belum tergali, banyak intrik belum dijamah, dan banyak bagian cerita yang masih terasa seperti teaser. Intinya, segala hal yang perlu dikuak itu menunggu sekuelnya, itu pun kalau ada. Ngeselin, kan?

Tontonlah selagi masih tayang di bioskop!

Skor: 3/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak