Jujur saja, bila dengar kata ‘sci-fi’, yang terlintas di pikiran langsung ke hal-hal pusing, misalnya teori waktu, multiverse, paradox, atau teknologi yang cuma Elon Musk yang paham. Namun, gimana kalau aku bilang ada film sci-fi Indonesia, yang justru bikin kamu baper dan nggak buat bingung?
Film itu adalah Sore: Istri dari Masa Depan besutan Yandy Laurens. Dari judulnya saja sudah udah terasa unik, karena biasanya ‘film cinta ya cinta saja’, ‘film waktu ya waktu saja’. Eh, tapi di film ini, penonton diajak masuk ke kisah di mana seseorang dari masa depan datang, bukan untuk menyelamatkan dunia, tapi untuk menyelamatkan satu orang, yakin sosok pria yang di masa depan jadi suaminya.
Nah, biasanya, genre sci-fi identik sama film yang ‘berat’. Butuh perhatian ekstra. Kadang bahkan perlu ditonton dua kali baru ngerti. Namun, Film Sore: Istri dari Masa Depan tuh beda.
Film ini pakai sci-fi bukan buat pamer rumus fisika, tapi buat mengangkat pertanyaan emosional yang sederhana tapi jleb gitu:
- “Kalau kamu tahu masa depanmu hancur, apa kamu mau berubah sekarang?”
Dan jawabannya nggak datang lewat mesin waktu atau chip di kepala, tapi lewat percakapan dan perjalanan pelan di antara luka-luka lama.
Sore (Sheila Dara Aisha) datang dari masa depan dan bilang ke Jonathan (Dion Wiyoko) bahwa dia adalah istrinya, tapi nggak secara merinci (detail seakurat mungkin) dikasih tahu gimana dia bisa sampai ke masa sekarang.
Dan anehnya? Aku nggak peduli. Karena yang penting bukan bagaimana dia datang, tapi kenapa dia datang. Dan apa yang dia bawa.
Dia membawa kesempatan kedua. Bukan untuk dunia, tapi untuk orang yang bahkan sudah nggak percaya hidupnya punya arah.
Ini bukan time travel ala Marvel. Ini kayak surat yang nyasar dari masa depan. Diam-diam, tapi langsung kena.
Yang menarik, film ini tetap sah disebut sci-fi, tapi bukan sci-fi yang kaku. Ini versi yang lembut. Yang memperlakukan waktu sebagai metafora, bukan mesin. Yang memperlakukan cinta sebagai kekuatan, bukan subplot.
Yandy Laurens kayaknya ngerti betul penonton Indonesia nggak butuh rumus untuk merasakan sesuatu yang dalam. Penonton butuh narasi yang hangat. Tokoh yang rapuh. Dan waktu (bukan sebagai ancaman paling ngeri), tapi sebagai pengingat bahwa masih ada harapan.
Jujurly aku pernah berharap, “Seandainya diriku bisa balik ke masa lalu, atau seandainya diriku tahu ke depannya bakal kayak gimana, apa yang bakal kulakukan untuk memperbaiki keadaan yang terlewatkan atau yang belum terjadi?”
Dan Sore mengajak diriku menghadapi versi terbaik dan versi terburuk dari pertanyaan itu. Tanpa efek khusus, meski mungkin ada kejar-kejaran dengan waktu. Hanya ada dua manusia yang belajar saling percaya, dan menyembuhkan satu sama lain.
Ini juga penting. Film ini nggak sok-sokan jadi Hollywood banget. Lokasinya banyak di Kroasia, iya. Namun, rasa filmnya tetap sangat Indonesia.
Bukan karena ada nasi uduk di meja makan, tapi karena konfliknya adalah konflik yang bisa pahami: soal hubungan, soal menyabotase diri sendiri, soal rasa takut akan masa depan.
Dan buat film Indonesia, ini langkah penting. Karena genre sci-fi biasanya dianggap ‘bukan untuk kita”. Terlepas dari itu, Film Sore: Istri dari Masa Depan membuktikan kalau perfilman kita juga bisa main di genre itu dengan cara sendiri.
Kalau Sobat Yoursay biasanya menghindari film sci-fi karena takut ribet, coba kasih kesempatan ke film ini. Siapa tahu, kamu malah nemu bagian dari dirimu sendiri yang selama ini kamu tinggalkan di masa lalu.
Film Sore Istri dari Masa Depan masih tayang di bioskop. Yuk, nonton!