Di masa remaja, banyak hal terasa begitu sederhana namun berkesan. Ada tawa yang pecah hanya karena lelucon sepele, ada air mata karena nilai ujian yang tidak sesuai harapan, atau ada perasaan berdebar saat diam-diam menyukai seseorang. Namun, di balik keseharian anak sekolah, ada pula kisah yang lebih dalam: tentang mimpi, persahabatan, dan pencarian jati diri. Itulah yang coba dihadirkan Lana Azim dalam novel Melogram.
Sekilas, judulnya mungkin terdengar asing—Melogram. Namun di balik nama itu, tersembunyi kisah unik tentang empat anak SMA yang berbeda watak, berbeda dunia, tetapi dipertemukan oleh satu hal: musik. Di tangan Lana Azim, musik tidak hanya hadir sebagai hiburan, melainkan sebagai bahasa pengikat yang menyatukan hati, membangun keberanian, dan mengajarkan arti mimpi.
Pertemuan Nada dan Perbedaan
Nama Melogram lahir dari gabungan abjad nama anggotanya: Gibran, Razi, Awan, dan Melody. Namun, lebih dari sekadar nama, band ini adalah simbol perbedaan yang berpadu menjadi harmoni. Gibran adalah si kutu buku yang sering dianggap culun dan canggung, sosok yang tidak mudah percaya diri. Awan, kebalikannya, tampil perfeksionis sekaligus populer di kalangan cewek-cewek sekolah, kadang terlalu kaku dengan standarnya sendiri. Razi hadir dengan latar belakang dunia silat, keras dan tegas, lebih terbiasa berada di gelanggang pertarungan daripada panggung musik. Lalu ada Melody, gadis berhijab dengan kepiawaian memainkan gitar yang menghadirkan warna religius di tengah dunia band.
Keempatnya tampak mustahil untuk bersatu. Namun justru perbedaan karakter itulah yang membuat Melogram terasa hidup. Lana Azim seakan ingin menunjukkan bahwa persahabatan tidak selalu lahir dari kesamaan, melainkan bisa tumbuh dari perbedaan yang saling melengkapi.
Musik Sebagai Bahasa Persahabatan
Di tangan Lana Azim, musik bukan hanya latar cerita, melainkan tokoh itu sendiri. Musik hadir sebagai perekat yang menyatukan Gibran, Awan, Razi, dan Melody.
Setiap denting gitar, setiap gebukan drum, dan setiap nada yang mereka mainkan menjadi cara untuk saling memahami. Saat Gibran minder dengan dirinya, musik membuatnya berani tampil. Saat Awan sibuk mengejar kesempurnaan, musik mengajarinya untuk lebih mendengar. Saat Razi keras dengan prinsip silatnya, musik membuatnya lentur dan terbuka. Sementara Melody, dengan identitasnya sebagai gadis berhijab, menunjukkan bahwa musik bisa menjadi ruang ekspresi yang selaras dengan keyakinan.
Dari sini, kita melihat bagaimana Melogram menghadirkan musik sebagai bahasa persahabatan. Bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus banyak bicara, bahasa yang menyatukan tanpa perlu memaksa keseragaman.
Mimpi yang Tidak Boleh Diremehkan
Sering kali, band sekolah dipandang sebelah mata. Orang menganggapnya hanya sekadar hobi, pengisi waktu, atau kegiatan iseng anak-anak remaja. Namun, bagi Gibran dan kawan-kawannya, Melogram lebih dari itu. Ia adalah mimpi yang ingin diperjuangkan, meski sederhana.
Buku Novel ini menyuarakan pesan penting: bahwa mimpi tidak perlu besar untuk berarti. Mimpi tampil di panggung sekolah, mimpi membawakan lagu ciptaan sendiri, atau sekadar mimpi diakui oleh orang-orang sekitar—semua itu tetap berharga. Yang terpenting adalah keberanian untuk mewujudkannya.
Melogram menegaskan bahwa mimpi, sekecil apa pun, layak diperjuangkan. Bahkan ketika banyak orang meremehkan, bahkan ketika jalan terasa penuh rintangan, mimpi tetap bisa menjadi sumber semangat untuk melangkah.
Menyelaraskan Nada dengan Doa
Satu hal yang membuat novel ini terasa segar adalah kehadiran Melody. Ia bukan hanya sekadar anggota band, tapi juga simbol keseimbangan antara kreativitas dan religiusitas. Dengan jilbabnya, ia menunjukkan bahwa musik tidak harus bertentangan dengan keyakinan. Sebaliknya, musik bisa berjalan beriringan dengan doa dan nilai-nilai spiritual.
Dari tokoh Melody, pembaca diajak melihat bahwa jati diri tidak harus dilepas demi mengejar mimpi. Justru ketika jati diri dijaga, mimpi itu menjadi lebih tulus. Inilah yang menjadikan Melogram unik—ia tidak hanya mengajarkan tentang mimpi dan persahabatan, tapi juga tentang bagaimana tetap menjadi diri sendiri dalam proses mengejarnya.
Konflik dan Dinamika Remaja
Selain nilai-nilai besar, Melogram juga menangkap dinamika khas kehidupan remaja: rasa minder, gengsi, ego yang berbenturan, hingga perasaan suka yang samar. Lana Azim meramu semuanya dengan ringan namun bermakna, sehingga pembaca seakan dibawa masuk ke dalam ruang latihan band, ikut merasakan degup jantung sebelum tampil, bahkan ikut tertawa saat ada salah satu personel yang fals.
Konflik-konflik kecil itu justru membuat novel ini terasa dekat dengan kehidupan nyata. Pembaca bisa melihat dirinya sendiri, teman sebangku, atau geng sekolahnya di dalam karakter-karakter Melogram.
Lebih dari Sekadar Musik
Akhirnya, Melogram bukan sekadar cerita tentang band sekolah. Ia adalah kisah tentang bagaimana perbedaan justru melahirkan harmoni, bagaimana mimpi kecil bisa membuka jalan menuju pertumbuhan, dan bagaimana musik mampu menyatukan hati-hati yang semula berjauhan.
Lana Azim berhasil merangkai cerita ini dengan hangat. Tidak ada dramatisasi berlebihan, tidak ada konflik yang dibuat-buat, semuanya terasa alami dan dekat dengan keseharian pembaca. Itulah yang membuat Melogram menarik: kesederhanaannya justru menghadirkan kedalaman.
Membaca Melogram membuat kita seakan duduk di antara Gibran, Awan, Razi, dan Melody. Kita ikut menyaksikan perjalanan mereka, ikut merasakan degup panggung pertama mereka, dan ikut belajar bahwa persahabatan sejati selalu menemukan jalannya—bahkan lewat musik.
Harmoni yang Menyentuh
Di akhir, Melogram meninggalkan kesan bahwa musik hanyalah pintu. Yang terpenting adalah apa yang ada di balik pintu itu: persahabatan, keluarga, doa, dan mimpi yang terus dijaga. Semua itu berpadu menjadi harmoni, sebuah melodi yang tidak akan pernah benar-benar selesai dimainkan.
Dan bukankah itu yang kita cari dalam hidup? Sebuah harmoni, sebuah cerita yang lebih dari sekadar musik.