Dalam era di mana otomatisasi dan kecerdasan buatan semakin menggerus lapangan kerja manusia, film No Other Choice (2025) datang sebagai pukulan telak yang dibalut dark comedy.
Disutradarai oleh maestro Korea Selatan Park Chan-wook yang terkenal dengan karya-karyanya seperti Oldboy (2003) dan Decision to Leave (2022).
Film ini bukan sekadar thriller satir, melainkan cerminan getir tentang dehumanisasi di dunia kerja modern. Dibintangi Lee Byung-hun dan Son Ye-ji, No Other Choice telah menuai pujian kritis di festival-festival internasional, termasuk standing ovation delapan menit di Venice Film Festival 2025.
Dengan rating 8.1 di IMDb dan 100% fresh di Rotten Tomatoes, film ini sebagai salah satu karya terkuat Park tahun ini, meski durasinya yang relatif singkat (sekitar 139 menit) membuatnya terasa seperti ledakan singkat tapi mematikan.
Cerita film ini diadaptasi dari novel The Ax karya Donald E. Westlake (1997), yang sebelumnya diadaptasi oleh Costa-Gavras pada 2005.
Park Chan-wook, yang menyebut proyek ini sebagai karya seumur hidup, memindahkan latar ke Korea Selatan kontemporer, di mana tekanan ekonomi dan budaya kerja kompetitif menjadi lebih relevan.
Protagonis utama, You Man-su (Lee Byung-hun), adalah seorang manajer pabrik kertas berusia paruh baya yang telah bekerja 25 tahun setia di perusahaan yang sama. Ia adalah teladan ayah rumah tangga: pagi-pagi berkebun bonsai di rumah kaca, mengantar anak ke sekolah, dan menjaga istri yang sensitif, Miri (Son Ye-jin).
Hidupnya sempurna sampai pemecatan mendadak karena restrukturisasi perusahaan yang dipimpin bos Amerika kejam. "Kami tak punya pilihan lain," kata bosnya, frasa yang menjadi mantra ironis sepanjang film.
Pengangguran Man-su bukan hanya kehilangan gaji, tapi identitasnya sebagai pencari nafkah keluarga. Wawancara kerja demi wawancara berakhir dengan penolakan halus: "Anda terlalu tua untuk posisi ini."
Rasa frustrasi memuncak saat putranya dituduh mencuri ponsel dari tetangga sombong, dan Man-su menemukan dirinya "tak punya pilihan lain" selain rencana ekstrem: membunuh para pesaingnya untuk lowongan kerja impian di perusahaan kertas lain.
Apa yang dimulai sebagai komedi caper ala Ealing Studios dengan Man-su yang kikuk seperti Wile E. Coyote dalam upaya pembunuhannya berubah menjadi eksplorasi mendalam tentang maskulinitas rapuh, disfungsi keluarga, dan kritik terhadap kapitalisme brutal.
Park Chan-wook mendedikasikan film ini kepada Costa-Gavras, tapi ia menambahkan lapisan Korea: tekanan "plant roots and grow a future for your family" di tengah pasar kerja yang kejam.
Review Film No Other Choice

Pemeran pendukung yang turut memperkaya narasi. Park Hee-soon sebagai salah satu target Man-su membawa nuansa ambigu, sementara Lee Sung-min, Yeom Hye-ran, Cha Seung-won, dan Yoo Yeon-seok menambah dinamika ensemble yang raucous.
Son Ye-jin, yang kembali berakting pasca-kelahiran anaknya, memerankan Miri dengan kelembutan yang kontras tajam terhadap kegilaan suaminya kolaborasi pertamanya dengan Park sejak The Truth Beneath (2016).
Lee Byung-hun, yang pernah bekerja dengan Park di Joint Security Area (2000), bersinar sebagai Man-su: campuran awkwardness lucu dan intensitas mengerikan, membuatku justru bersimpati pada pembunuh amatir ini.
Ini seperti villain Oldboy yang gagal mengeksekusi rencana Dan bagaimana Lee membuat karakter ini endearing meski menuju kehancuran.
Secara visual, No Other Choice sangat sekali memanjakan mata. Park Chan-wook, dengan sinematografer tetap Chung-hoon Chung, menyajikan mise-en-scène yang maximalist: transisi editing yang inovatif, superimposisi gambar, dan pengambilan gambar yang presisi seperti jam Swiss.
Rumah kaca Man-su menjadi metafor utama tempat suci di mana bonsai-nya tumbuh, tapi juga arena mimpi buruk yang absurd.
Sound design-nya luar biasa, dengan soundtrack yang bercampur antara ketegangan thriller dan humor slapstick, termasuk adegan konfrontasi dengan musik kencang yang membuat jantungku berdegup.
Film ini bukan hanya satir, tapi juga elegi untuk nilai manusia yang hilang di era sekarang, di mana pekerja seperti Man-su digantikan robot. Menekankan bagaimana Park mengubah narasi serial killer menjadi potret krisis negara.
Akan tetapi, film ini tak luput dari kekurangan. Durasi singkat membuat pengembangan karakter sekunder terasa terburu-buru. beberapa "target" Man-su kurang dieksplor, dan bagian tengah plotting terasa bonkers hingga melemahkan ketegangan thriller.
Aku menyebutnya "uneven", di mana penekanan pada tawa kadang menetralkan horor sosialnya. Meski begitu, akhir yang tak terduga dengan intervensi Miri yang menyelamatkan kekacauan Man-su membuatnya kembali on track, meninggalkan rasa getir yang resonan.
Untuk penonton Indonesia sendiri, kabar baiknya No Other Choice akan tayang di bioskop mulai 1 Oktober 2025, didistribusikan oleh CBI Pictures. Dan sekadar informasi, ini dia jadwal pasca-penayangannya di Busan International Film Festival (17 September 2025) dan rilis domestik Korea (24 September 2025).
Di AS, film ini dibeli Neon untuk rilis Natal 2025, sementara MUBI menggarap wilayah lain. Sebagai kontender Oscar untuk Best International Feature (dan potensial Best Picture/Director), film ini dipilih Komite Korea atas rekomendasi produser Parasite Kwak Sin-ae.
Kurasa No Other Choice bukan film ringan sih; ia memaksa kita bertanya: apa pilihan kita di dunia yang tak memberi ruang bernapas? Park Chan-wook membuktikan lagi mengapa ia master sinema cerdas, visual yang keren, dan tak kenal ampun.
Kalau kamu siap tertawa getir sambil merinding, ini sangat aku rekomendasikan untuk ditonton. Di tengah banjir konten ringan, film ini adalah pengingat bahwa seni sejati lahir dari kegelapan!