Review Film Human Resource: Saat Punya Anak Bukan Lagi Hak Personal

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review Film Human Resource: Saat Punya Anak Bukan Lagi Hak Personal
Poster film Human Resource (Instagram/jakartaworldcinema)

Ada satu adegan kecil dalam Film Human Resource yang bikin tertegun. Yakni scene HRD muda yang sedang hamil satu bulan, terbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, nggak bisa tidur. Bukan karena ada yang mengetuk pintu, bukan pula karena suara klakson kota, melainkan seperti ada gema bayang imaji suara anak-anak yang memenuhi kepalanya.

Entah nyata atau cuma rasa takut yang bergaung di kepalanya, adegan ini jadi kayak perumpamaan, seolah-olah masa depan menjerit dari balik ruang kosong. 

Di sinilah Sutradara Nawapol Thamrongrattanarit bermain. Dia nggak sedang membuat drama keluarga dengan tangisan histeris atau konflik pasangan.

Dia membangun dialektika yang jauh lebih getir. Terkait apakah manusia masih punya kebebasan menentukan hidupnya sendiri, atau semua keputusan hanyalah hasil kompromi dengan sistem yang mengekang?

Penasaran dengan detail kisah? Yuk, Sobat Yoursay bareng-bareng kepoin!

Sinopsis Film Human Resource 

‘Human Resource’ yang diproduksi GDH dengan durasi ±122 menit, diputar perdana di Venice Film Festival 2025 dan masuk nominasi Best Film – Venice Horizons Award, yang kemudian memenangkan Premio Fondazione Fai Persona Lavoro Ambiente Award. Ceritanya mengikuti Fren (diperankan Prapamonton Eiamchan).

Fren adalah HRD di perusahaan yang penuh tekanan. Pekerjaannya sehari-hari adalah mewawancarai para pencari kerja, mendengar kisah mereka, lalu menimbang hidup orang lain hanya dengan skor dan catatan di atas kertas. Namun di balik semua itu, Fren menyimpan rahasia. Dia lagi hamil satu bulan. 

Kehamilan ini memicu dilema moral. Apakah dia siap punya anak di tengah beban kerja, gaji yang nggak sepadan, dan kehidupan urban yang makin berat? Tontonlah, Sobat Yoursay! Film ini tayang offline dalam rangkaian Kakarta World Cinema lho. 

Review Film Human Resource 

Menurutku, kelihatan banget si sutradara membalik perspektif. Kalau biasanya film menggambarkan susahnya job seeker mencari kerja, kali ini menyorot sisi HRD. Posisi yang sering dianggap ‘berkuasa’, padahal sama tertekannya. Bahkan dalam kehidupan pribadinya, Fren nggak berdiri sendiri.

Ada suaminya, Thame, yang meski kelihatan suportif di permukaan, sebenarnya lebih condong mikirin stabilitas karir dan status sosial. Jadi tekanan yang Fren hadapi bukan cuma dari kantor dan kota, tapi juga dari rumah tangganya sendiri.

Fren harus menenangkan kandidat, menghadapi bos toksik, menjaga performa, dan tetap tersenyum, meski dirinya sendiri hancur pelan-pelan.

Secara teknis, film ini minim musik, banyak close-up, dan ritme yang lambat banget. Nawapol seakan-akan mau bilang, “Nggak perlu banyak kata, tatapan mata bisa lebih nyaring dari teriakan.”

Secara teori, keputusan punya anak adalah hak personal. Eh, tapi realita sosial-ekonomi menyingkap betapa tipisnya garis antara kebebasan dan keterpaksaan. Di lingkungan sosial, Fren hidup di kota berpolusi, penuh kesenjangan, yang bahkan nggak ramah bagi dirinya sendiri.

Betewe, di Thailand aborsi memang legal sampai usia kehamilan 12 minggu. Fren yang baru sebulan hamil sebenarnya masih punya ruang legal buat menggugurkannya.

Namun itulah yang bikin dilemanga makin berat. Waktu terus berjalan, sementara tekanan kerja, pandangan sosial, dan sikap suaminya membuat kebebasan itu terasa semu.

Hasilnya? Kebebasan Fren terasa semu. Dia bisa bilang ‘ya’ atau ‘nggak’, tapi keputusannya selalu dibayang-bayangi sistem yang lebih besar. 

Bagiku, ritme yang stagnan bikin penonton ikut merasakan stuck yang dialami Fren. Kita terjebak bersama dia, nggak bisa maju, nggak bisa mundur.

Meski bercerita tentang Bangkok, kisah Fren terasa sangat dekat dengan realita pekerja muda di Indonesia sih. Media sosial pun sering jadi wadah keluhan ‘nikah takut biaya’, ‘punya anak takut nggak sanggup’, ‘kerja capek tapi harus bertahan meski digaji murah banget’. Semua ini bikin Human Resource jadi relevan lintas batas. 

Kesimpulannya menurutku, Film Human Resource bukan hanya drama tentang HRD atau soal hamil muda. Ini adalah juga gambaran getir tentang zaman ketika bahkan keputusan paling intim, punya anak atau nggak, nggak bisa diputuskan tanpa memikirkan ekonomi, aturan negara, dan masa depan. 

Jangan sampai nggak nonton ya Sobat Yoursay. Ini film bagus lho!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak