Sebuah kematian ternyata tak membatasi kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya. Hal ini saya sadari ketika membaca novel Sabtu Bersama Bapak karya dari Adhitya Mulya. Novel ini diterbitkan oleh penerbit GagasMedia pada tahun 2014.
Novel ini mengisahkan tentang keluarga Gunawan Garnida, seorang ayah yang meninggal karena kanker dan meninggalkan dua orang anak, Satya dan Cakra (Saka), serta seorang istri, Ibu Itje.
Pak Gunawan hanya memiliki waktu satu tahun untuk membersamai istri dan anak-anaknya. Tapi, luar biasanya, beliau telah menyiapkan rencana agar dirinya tetap bisa membersamai tumbuh kembang anak-anaknya meskipun ia sudah tiada. Caranya ialah melalui rekaman video.
Pak Gunawan mulai merekam dirinya yang seolah-olah tengah berbicara kepada kedua anaknya. Dalam video-video yang berjumlah ratusan itu, beliau menyampaikan pesan, nasihat/wejangan, curahan kasih sayang, yang diperuntukkan untuk istri dan kedua anaknya yang saat itu masih kecil.
Setelah Pak Gunawan tiada, Ibu Itje selalu memutarkan video-video peninggalan suaminya setiap Sabtu sore untuk Satya dan Saka bertajuk: Sabtu Bersama Bapak.
Ratusan video peninggalan Pak Gunawan, bagi Satya dan Saka, seakan-akan sang ayah masih menemani mereka dan menjawab segala permasalahan yang mereka hadapi di kehidupan.
Semua video warisan sang ayah menjadi bekal hidup yang berharga dan menjadi panduan untuk setiap langkah yang diambil Satya, Saka, maupun Ibu Itje. Ketika Satya memiliki masalah rumah tangga dengan istrinya, Rissa, ia menonton kembali video wejangan dari sang ayah tentang pernikahan.
Ketika Saka tak juga menikah meskipun telah menginjak kepala tiga, Ibu Itje—yang selalu mendesak anak bungsunya itu agar menikah—baru mengetahui bahwa Saka menerapkan kata-kata sang ayah yang pernah didengarnya dalam sebuah video.
Bukan berarti seseorang harus kaya dulu sebelum menikah. Tapi kalian harus punya rencana. Punya persiapan. Menikah itu banyak tanggung jawabnya. Rencanakan. Rencanakan untuk kalian. Rencanakan untuk anak-anak kalian. (Hal. 21)
Menggunakan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, novel setebal 278 halaman ini sukses membuat saya menitikkan air mata. Tokoh Pak Gunawan benar-benar membuat saya salut dengan perencanaan-perencanaan yang telah ia buat untuk ‘bekal’ setelah kematiannya.
Semua dipersiapkan dengan matang, agar hidup keluarganya tetap terjamin sepeninggal dirinya secara finansial maupun emosional. Terutama agar anak-anaknya tak kehilangan peran sang ayah dalam setiap langkah mereka.
Para tokoh-tokohnya memiliki kisah kehidupan tersendiri yang menarik. Satya yang berusaha menjadi ayah dan suami yang lebih baik meskipun kerap keliru. Saka yang belum berani berkomitmen dalam hubungan. Ibu Itje yang menyimpan rahasia sakitnya karena tak ingin menyusahkan anak-anak seperti pesan mendiang suaminya.
“Setelah mereka mandiri nanti, belum tentu mereka bisa menolong diri mereka. Apalagi menolong kamu. Makanya saya siapkan juga untuk kamu. Waktu dulu kita jadi anak, kita gak nyusahin orangtua. Nanti kita sudah tua, kita gak nyusahin anak.” (Hal. 88)
Novel Sabtu Bersama Bapak menghadirkan kehangatan keluarga, konflik-konflik yang relate dengan kehidupan pembaca pada umumnya, tokoh-tokohnya yang membumi, serta selipan humor di sana sini yang membuat novel sarat air mata ini memiliki sisi humoris.
Tak hanya mengajarkan tentang cinta, kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang, novel Sabtu Bersama Bapak juga sarat dengan ilmu parenting, amanat, dan nilai-nilai kehidupan yang bisa para pembaca terapkan dalam kehidupan. Sungguh sebuah novel yang menggugah dan penuh perenungan.