CERPEN: Perempuan yang Menyulam Kesedihan

Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
CERPEN: Perempuan yang Menyulam Kesedihan
Ilustrasi perempuan yang menyulam kesedihan (Pixabay/ArtSpark)

Amba menatap rerimbunan hujan yang tak henti menghunjami barisan rumput liar di pelataran rumahnya dari balik jendela kamar. Para pelayat sudah berhenti berdatangan, setelah sore tadi ia berkata tajam pada salah seorang tetangga yang mempertanyakan ketiadaan tahlilan untuk nanti malam.

"Percayalah, seorang pendosa yang mati tak lagi membutuhkan doa-doa. Ia tinggal mempertanggungjawabkan perbuatannya pada semesta.”

Sebaris kalimat itu ternyata mustajab menyingkirkan tetangganya—seorang wanita tiga puluhan tahun berkerudung lusuh dengan bentuk bibir mengerucut khas bibir penggosip—yang mendadak gugup, gelisah, seakan menyesali pertanyaannya.

Wanita itu lalu terbirit-birit keluar dari rumah Amba sampai-sampai ia menabrak pelayat lain. Setelahnya ia mempergunakan kesempatan itu untuk menyebarkan berita yang tadi didengarnya dari mulut Amba, pada sebagian pelayat yang masih berdatangan.

Tak ayal lagi, perkataan Amba sampai ke telinga banyak orang dalam waktu sekejap. Amba tak peduli. Ia malah mensyukuri karena tak perlu lagi menjelaskan bahwa ia tak menginginkan ada pengajian, tahlilan, atau apa pun itu di kediamannya.

Masih lekat dalam ingatan Amba pertengkaran hebat yang terjadi antara dirinya dan Soma dini hari tadi.

"Sampai kapan kau akan berhenti dengan semua kegilaanmu, Soma?!"

Amba mendesis tajam, matanya nyalang menjalari sepasang mata milik suaminya. Dekut burung yang muncul dari lubang di jam dinding berbunyi dua kali.

Soma baru saja tiba dengan tubuh beraroma parfum wanita dan noda gincu di lengan baju terutama di sudut bibir yang masih tampak jelas.

Amba bersandar pada pintu ruang tamu, berkeras untuk tak sampai tumbang ke lantai dan menghancurkan harga dirinya meskipun sepasang kakinya lemas dan gemetar, nyaris tak dapat menopang lagi bobot tubuhnya.

"Kau atau siapapun tak berhak mengatur-atur apa yang berhak dan tak berhak kulakukan."

"Lima tahun, Soma. Aku rasa itu lebih dari cukup untuk menyudahi segala tindakan asusilamu. Ingat, kita punya anak," desis Amba.

"Memangnya kenapa kalau punya anak? Kau takut Saka akan mewarisi kelakuanku yang kau anggap busuk?!"

"Iya! Buah yang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya, bukan?"

"Kalau begitu didik dia sebaik mungkin. Itulah tugasmu sebagai ibu jika memang itu yang kau khawatirkan."

"Kau pikir hanya itu? Kau tak punya telingakah untuk mendengar gunjingan orang-orang di sekitar? Tidak punya hatikah dirimu sampai memperlakukan istrimu sendiri sedemikian buruknya?"

"Buruk bagaimana? Apakah pernah sekali saja tanganku melayang di tubuhmu? Pernahkah aku sebiadab itu mencederai dirimu?"

"Mungkin itu lebih baik daripada luka tak kasat mata yang kau derakan di sini. Di sini!"

Amba menepuk dadanya berulang kali dengan kegeraman yang sangat. Suaranya bergetar sambil terus berusaha tak meninggikan suara dan membangunkan buah hati tercinta.

"Aku tak pernah berpura-pura tentang siapa diriku. Hal yang juga telah kau ketahui sejak awal dulu. Lantas mengapa kau terus-menerus mempersoalkannya?"

"Aku berharap pernikahan bisa mengubahmu."

"Kau berharap pada sesuatu yang tidak mungkin."

"Karma bisa saja berlaku, Soma! Perbuatanmu meniduri gadis-gadis bahkan lebih buruk dari seekor anjing yang bersenggama di muka umum."

"Tutup mulutmu!"

Soma membanting pintu ruang tamu. Ia kembali pergi entah ke mana, meninggalkan Amba dengan luka-luka baru yang lebih menyala di tubuhnya.

Pukul sepuluh pagi, mayat Soma diantarkan dua orang tetangga. Mereka mengatakan Soma menjadi korban tabrak lari. Keduanya tak sempat mencatat nomor plat mobil yang dilarikan dengan ugal-ugalan, setelah sadar sudah menabrak seseorang.

“Amba ….”

Sebuah panggilan lirih dari balik punggungnya mengisap kembali kesadaran Amba. Ia berbalik. Lampu-lampu belum dinyalakan. Sang ibunda berdiri di keremangan kamar, mengulas senyum patah yang tak berhasil menenangkan hati putrinya.

Di luar hujan menampar-nampar tebing jendela hingga kacanya berderak-derak, mengisi kesunyian yang menghampar antara Amba dan ibunda.

"Maafkanlah dia, Amba. Semua yang telah dilakukan Soma hanya untuk mencari hiburan sesaat. Hal yang lazim dilakukan para suami yang kadang bosan. Kesepian. Kurang perhatian. Tak dihargai. Lagipula Tuhan sudah menghukum Soma dengan kematiannya.”

Tubuh Amba bergetar. Kata-kata sang ibunda seolah memojokkan. Menuduh. Mengapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini tega menyakiti hatinya begitu rupa.

“Maafkanlah Soma. Bahkan seorang pendosa pun berhak untuk dimaafkan, bukan?”

Amba menekankan telapak tangannya di dada kiri, merasakan perih yang tiba-tiba muncul dari sana. Amba ingin sang ibunda mengatakan sesuatu. Kata-kata yang meneduhkan. Nasehat baik atau kata-kata bijak seperti yang umumnya dikatakan seorang ibu pada anaknya.

Namun, sang ibunda hanya berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap Amba dengan raut kasihan. Kasihan? Amba tak ingin dikasihani apalagi oleh seorang ibu yang turut andil mempertebal kesedihannya.

Lalu tanpa bisa ditahannya lagi, Amba mulai memuntahkan kalimat demi kalimat yang selama ini ingin sekali diluapkannya.

“Aku tak akan pernah memaafkan Soma, Bu. Seperti aku pun tak akan pernah memaafkan dirimu. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan bersama Soma di balik punggungku? Di kamar ini. Di ranjangku sendiri?!

“Aku diam bukan berarti aku tak tahu. Aku berdoa sepenuh hati agar kalian sadar. Ibuku sadar! Tapi ternyata itu mimpi yang terlalu mustahil untuk terwujud.

“Kau tahu tingkah busuk menantumu di luar dengan para perempuan sundal, tapi kau sendiri menutup mata. Kau malah ikut-ikutan menikmati tubuh menantumu sama seperti mereka!

“Ibu macam apa kau?! Mengapa Ibu terkejut? Ibu pikir sudah berhasil menghapus jejak liarmu selama ini dariku, hah?!”

Amba terus berteriak, menjerit, menunjuk-nunjuk sang ibunda di antara air mata yang bersimbah. Kali terakhir yang Amba ingat, ia mendorong tubuh ibunya keluar kamar, membanting pintu, sebelum terkulai di dinginnya lantai dengan tangis yang semakin dalam.

Di luar, patahan-patahan hujan berjatuhan seakan ikut menyulam kesedihan seorang perempuan yang tak kunjung selesai.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak