Hatiku melagu sunyi. Kurasakan beku tanpa kehangatan. Jasadku tak sanggup lagi mewarnai rasa. Hanya ruhku yang terus terjaga menunggu Izrail yang akan membawaku pada dua persaksian. Surga atau neraka.
Ada semacam perasaan tak rela melihat jasad kasarku terbujur kaku, berselimutkan kafan. Kamar ini terasa hening seheningnya. Aku hanya ditemani jasad-jasad lain yang juga nyaris tak berbentuk lagi dengan bercak darah yang mulai mengering di sana-sini. Bus maut antar kota yang kutumpangi kemarin sore, ternyata telah mengantarkanku pada kehidupan abadi.
Lihatlah, kedua orang tuaku datang, mereka menjemputku! Adik Riezta, ah calon istriku juga datang bersama mereka. Betapa manisnya dia dengan mata sayunya yang menyembab. Kedatangan mereka bagaikan oase di tengah dahagaku di padang sahara. Tapi, kenapa wajah-wajah yang begitu kusayangi ini tak henti menghujaniku dengan selaksa tangis kehilangan? Lihatlah aku di sini! Aku masih bersama kalian. Jasad itu bukan aku. Aku belum mati!
“Duh, Nak, kenapa secepat ini engkau tinggalkan Ummi?" sesenggukan Ummi perih mengiris hatiku. Air matanya terasa sejuk menyentuh ujung kain kafanku.
Duh Ummi, maafkan anakmu! Ada rasa sangat perih menghunjam dadaku, lungrah bersama luruhan penyesalan di sekitar relung hatiku.
Ummi, begitu kasihan engkau pada anakmu ini? Hingga, sekalipun masa hidupku betapa sering aku menyakitimu, mengkhianati tulus kasihmu. Tapi, engkau masih menangisi aku? Aku orang hina. Ummi, tahukah engkau? Di belakang Ummi, tanpa sepengetahuan Ummi, aku sering berbuat di luar batas. Ampuni aku, Ummi! Aku tak pernah bisa memaknai tulus kasihmu dengan harga yang sebanding.
Abah, engkau juga sosok perkasa yang tak kenal lelah menafkahi kami. Abah tahu, manusia macam apa putra Abah ini? Putra yang selalu menjadi kebanggaan Abah karena beberapa bulan lagi akan menyandang gelar sarjana. Putra yang sangat Abah dambakan, mampu menggantikan posisi Abah sebagai qawam keluarga kelak di kemudian hari.
Abah, tahukah engkau? Betapa selama ini aku hanya menghabiskan hasil tetesan keringat Abah untuk mengobati nyeri di lambungku, cuma urusan perut, Abah. Kini engkau membiayaiku, tak ubahnya engkau sedang menyuapi makhluk hina yang lumpuh.
Ada selarik isak tangis lirih di dekatku. Adik Riezta, tunanganku sayang, tangismu untuk siapa? Aku sama sekali tak pantas untuk kamu tangisi.
Adik Rieztaku Sayang, aku tahu, kamu takkan pernah rela bersuamikan aku jika engkau tahu sesungguhnya kehidupanku tak secerah yang ada dalam pikiranmu. Tak seindah dan tak seterang yang ada dalam impianmu. Meskipun mungkin dengan pualam hatimu, kamu akan memaafkanku dan ikhlas mengubah garis hidupku. Ah, jika boleh aku berharap, betapa ingin aku mengagungkanmu seperti Sulaiman mengagungkan Balqis. Tapi, semua itu sudah terlambat, Adikku sayang. Semuanya raib bagaikan fatamorgana di tanah lapang.
***
Jasadku diangkat ke dalam ambulan. Sepanjang jalan, Ummi dan adikku, Riezta, tak kunjung henti menangis di sampingku. Pepohonan seakan juga ikut mengantarkan kepulanganku dengan lambaian dedaunan mereka yang kurasakan begitu sarkastis. Setibanya di rumah, kulihat banyak handai taulan dan tetanggaku berjejer menyambut jasad kakuku dengan wajah menyiratkan seribu iba.
Tidak! Jangan tatap aku seperti itu, aku mohon!
Rasa sunyi melukaiku dengan kejam. Semua orang membisu, seperti sesuatu yang teramat mahal harganya. Sekejap kemudian, prosesi yang mengerikan harus kualami. Mereka memandikan dan mengafani jasadku.
Sungguh aku tak rela, kalian perlakukan aku seperti ini. Aku masih ingin hidup. Aku ingin mengubah perjalanan dosaku menuai pahala dalam kebajikan. Aku takut bertemu dengan Tuhanku. Tolong aku! Aku masih ingin bersenda gurau lagi dengan adik Riezta tunanganku, seperti bulan-bulan yang lampau.
Penyesalanku mencapai titik kulminasi. Sesak. Sesesak aroma kamenyan yang menyelimuti ragaku sekarang. Aku benci aroma kamenyan kematian ini.
Jasadku yang mewangi kamenyan diarak menuju pemakaman umum di ujung sebelah timur desa Garahan. Takdirku sudah sampai. Kini aku akan menjadi salah satu penghuninya. Pembacaan talkin dikumandangkan. Aku terhenyak dengan spektrum penyesalan. Kulihat Abah mendahului turun ke liang lahat. Lelaki terkasih itu menerima jasadku dan membaringkannya menghadap kiblat. Setetes air mata Abah menghangati jasad dinginku.
Ah, Abah. Sungguh, selama hidupku aku tak pernah sekalipun melihat tetesan air matamu. Hari ini engkau menangis karena kepergianku. Menangis untuk seorang anak yang tak pernah bisa menjadi harapanmu. Maafkan aku, Abah! Jangan dosakan aku!
Mereka melambaikan tangan terakhir beberapa saat setelah tanah-tanah itu menghujani jasadku. Jasadku sudah sempurna ditimbun tanah. Tanah merah membasah dan taburan kembang menjadi pertanda perjalanan hidupku telah berakhir. Orang-orang terkasihku, betapa mengerikannya saat-saat seperti ini. Satu persatu orang-orang yang mengikuti prosesi terakhirku meninggalkan pemakaman, mereka pergi dengan sebaris kalimat ‘selamat tinggal’.
Abah, Ummi dan adik Rieztaku Sayang juga beranjak pergi meninggalkanku. Adik Rieztaku menancapkan setangkai mawar kuning di atas pusaraku. Ah, mawar kuning, itu bunga lambang cinta tanpa harapan. Orang-orang terkasihku mengucapkan kata terakhir dan berlalu meninggalkanku terbujur kaku dalam kehidupan abadiku. Tatapan terakhir Ummi begitu mengiris hatiku.
Ummi, doa dan ampunanmu adalah kehidupanku di sini.
Semerbak kamboja semakin menambah kesunyianku. Sempurna sudah kini aku sendiri menunggu Munkar-Nakir menjemput ruhku.
Duh Gusti, Engkaulah Penghapus segala kesalahan. Bersihkanlah lembaran-lembaran hidup yang telah aku kotori selama ini. Betapa ritual ibadahku yang terpatah selama ini hanya sekadar basa-basi tak bermakna. Kini aku kembali menghadap-Mu dengan segala kelemahan dan aibku. Anugerahi aku dengan magfirah-Mu.
Hatiku melafal taubat. Akankah semua sudah terlambat? Benarkah hidup ini hanya menunda kekalahan? Dan apakah ini merupakan akhir dari kekalahanku?
Seberkas cahaya menyilaukan tiba-tiba hadir menderangi jasadku. Aku terpejam, tak kuasa menatap sinar itu. Hatiku lunglai didera sejuta sesal. Itukah Munkar-Nakir yang akan menjadi hakim amal perbuatanku di dunia? Entahlah, aku berusaha melarikan diri. Luruh segala kepekatan tak bernoktah. Ada sejuta kata yang tak cukup mewakili satu rasa. Penyesalanku.