Jalan kecil beraspal halus itu berkilauan ketika sinar matahari menimpanya. Aku tak akan percaya jika jalan tersebut sebenarnya penjelmaan Rima, andai ia tak pernah mengatakannya padaku.
"Aku ingin menjadi jalan di muka rumah kekasihku. Aku akan semulus aspal di lintasan sirkuit. Tubuhku yang legam akan berpendar setiap kali terjamah matahari."
Rima mengatakannya begitu saja saat senja memerah saga dan kami berdua berada di teras rumahnya. Tatapan Rima terasa jauh. Mengawang. Seakan-akan ia berada di dimensi berbeda. Aku hanyalah bagian kecil di luar dimensi tersebut yang tak dapat menjangkaunya.
Aku menandaskan kopi sebelum pergi. Rima masih tak hadir di sini, jadi tak ada gunanya aku tinggal lebih lama.
"Abang naksir dia, ya?" Adikku menaik-naikkan sepasang alisnya saat aku mengorek keterangan perihal Rima.
Aku penasaran dengan lelaki itu. Lelaki yang masih saja disebut Rima sebagai 'kekasih' dan membuatnya sulit menerima kehadiran lelaki lain.
Aku bisa mendekati Rima hanya karena bersahabat dengannya sejak kecil. Rumah kami pun bersebelahan. Ketika aku merantau ke kota lain untuk melanjutkan kuliah, saat itulah aku mulai kehilangan kabar tentangnya.
Aku kembali ke kota ini setelah kuliahku kelar, bekerja di sisi lain kota, dan hanya kembali ke rumah orang tuaku setiap Sabtu. Namun, segala tentang Rima sudah berubah. Ia tak lagi ceria, tak lagi mengumbar banyak cerita.
"Kamu pernah lihat pacarnya Rima, nggak? Kayak apa orangnya?" Aku terus memburu, tak mengindahkan godaannya.
"Rima tuh nggak pernah bawa pacarnya ke rumah, Bang. Tapi, aku pernah lihat mereka di taman. Rima nangis di pelukan pacarnya. Sampai pacarnya pergi, Rima masih nangis. Lama. Aku sampai kasihan lihatnya."
"Lalu?"
"Tahu-tahu Rima lari, terus aku ikutan lari ngejar dia. Kupikir, jangan-jangan Rima mau nabrakin diri di tengah jalan. Yah, perempuan, kan, suka tolol kalau sudah urusan hati. Tapi, ternyata …."
"Ya?"
"Abang mau bayar berapa untuk informasi selanjutnya?"
Aku merogoh kocek lumayan dalam demi menebus rasa penasaran. Adikku yang mengkhawatirkan Rima ternyata mengikutinya sampai ke sebuah rumah.
Rima berdiri cukup lama di depan pagar rumah tersebut, sampai ada orang lewat yang curiga dan menegurnya. Menurut adikku, Rima lalu sepertinya dengan berat hati menjauh dari rumah tersebut.
***
"Perpisahan bukan hanya soal merelakan, tapi juga bertahan mencintai dari kejauhan." [1]
Bodoh!
Umpatan itu hanya berani kulontarkan dalam hati di senja yang lain. Bagaimana bisa Rima bertahan mencintai seseorang, yang bahkan tidak tahu kalau Rima masih mencintainya? Untuk apa pula ia merelakan dirinya melajang sekian lama, merasa sudah cukup bahagia melihat kehidupan lelaki itu dari status sosial medianya, tanpa bersentuhan langsung dengannya?
"Cinta macam apa yang mengharuskanmu berkorban demikian besar?"
"Aku tak akan menyebutnya pengorbanan. Itu tanggung jawabku atas perasaan cinta ini."
Aku kesal dengan jawaban Rima. Mengapa ia terus menanam kebodohan di akar kepala? Jika cinta tak mampu menyatukan mereka, bukan berarti Rima harus bertanggung jawab atas perasaannya tersebut.
Salahku sendiri. Setiap bertemu Rima, aku akan mengajukan banyak pertanyaan, yang kumaksudkan untuk menggantikan sekian hari yang kulewati tanpa dirinya. Sialnya, sebagian besar pertanyaan tersebut akan kusesali setelah kuketahui jawabannya.
Niat awalku menjadikan semua itu bahan obrolan—karena Rima memang hanya tertarik bercerita tentang mantan kekasihnya—berbalik bak bumerang, menyerangku tepat di hulu jantung.
"Cinta yang tak bertakdir, tak mewajibkanmu untuk selalu hadir."
Aku ucapkan kalimat yang terbersit di kepalaku itu keras-keras, supaya Rima sadar bahwa kesetiaannya sia-sia. Aku tak rela ia meratapi lelaki yang tak akan pernah kembali padanya.
Rima tak menjawab. Ia sudah kembali ke dalam dimensi miliknya, membawa cintanya yang sakit! Cinta yang membunuhnya pelan-pelan. Aku berlalu dari hadapannya dengan perasaan hampa.
Namun, aku tak berminat menghabiskan senja dengan sia-sia. Setelah kupaksa-paksa, akhirnya adikku mau menunjukkan rumah lelaki yang pernah dilihatnya bersama Rima. Ya, walaupun kami sempat tersesat karena adikku sedikit lupa letak pastinya.
Tak kusangka, aku melihat lelaki itu. Adikku begitu yakin saat memberi isyarat diam-diam, dari tempat kami duduk di sebuah warung rokok pinggir jalan. Tinggi, rambut legam sebatas bahu, berkulit tembaga, dengan sepasang mata teduh yang aku yakin pasti membuat Rima betah menatapnya berlama-lama.
Demi lelaki itu Rima bahkan berkeinginan menjadi sebuah jalan. Sebuah cita-cita yang terus-menerus didengungkannya di setiap pertemuan kami.
"Aku akan melihat kekasihku setiap hari, menyambutnya saat pagar rumah terbuka, merasakan langkah-langkahnya kala ia menapaki tubuhku, dan ikut bersorak tiap kali ia memenangi pertandingan bulu tangkis."
"Hah, bulu tangkis?"
"Itu olahraga favoritnya. Di seberang rumah kekasihku ada lapangannya bersisian dengan sebuah musala. Ah, iya, nanti aku juga yang akan mengantarkannya menuju suara azan. Romantis sekali, bukan? Ketika menjadi jalan, aku akan selalu membersamainya menuju panggilan Tuhan."
Hatiku pedih mengingat kembali perkataan Rima. Semakin pedih karena mulai besok aku tak bisa menjumpainya dalam waktu lama. Kantor mengirimku untuk mengikuti program pelatihan profesi di kantor cabang selama sebulan.
Sejujurnya, aku agak berat meninggalkan Rima. Bobot tubuhnya menurun drastis. Tatapannya sering kali kosong. Semakin hari ia semakin nyaman berada dalam dimensi miliknya. Aku mengkhawatirkan kesehatan gadis yang diam-diam kucintai itu.
***
"Rima masuk rumah sakit."
Kabar tersebut disampaikan adikku di minggu pertamaku di kantor cabang. Aku pikir, sakitnya mungkin seperti yang sudah-sudah karena terlalu dalam memikirkan mantan kekasihnya.
Pikiranku bercabang antara pelatihan yang tengah kuikuti dan kondisi Rima. Dua minggu berlalu dan ternyata selama itu pula Rima masih di rumah sakit, menurut kabar yang kembali dibawa adikku. Aku semakin khawatir. Mungkin itu sebabnya Rima tak membalas satu pun pesan yang kukirimkan melalui WhatsApp.
"Rima meninggal, Bang."
Berita tersebut menghantam dadaku di minggu terakhir pelatihanku usai. Malam itu juga aku mencari penerbangan tercepat ke kotaku.
***
Haud timet mortem qui vitam sperat.
Yang berharap hidup tidak akan takut mati.
Setelah Misa Requiem, jenazah Rima dibawa menuju krematorium. Sesuai wasiat Rima, ia ingin jenazahnya dikremasi. Hatiku hancur melepas kepergian Rima tanpa pernah sempat mengungkapkan perasaanku.
Walaupun mungkin tak ada gunanya, aku ingin memberitahukan kabar kematian Rima ke mantan kekasihnya. Seusai prosesi kremasi, aku pun langsung menuju rumah lelaki itu. Tapi, betapa aku dikagetkan oleh pemandangan yang kulihat di depan mata.
Di muka rumah lelaki itu terbentuk jalan beraspal yang sangat halus, berwarna hitam pekat, dan berpendar di bagian yang tersentuh cahaya matahari. Benar-benar hanya di sepanjang rumah lelaki itu, sementara area sekitarnya masih ber-paving block.
Lelaki itu ada di sana. Berdiri di depan pagar rumahnya. Berkain sarung dan berbaju koko. Raut wajahnya tampak kebingungan saat ia melihat jalan beraspal tersebut. Ia lalu dengan hati-hati menapakinya menuju musala kala suara azan mulai terdengar.
Dan entah mengapa aku begitu yakin bahwa aku melihat senyuman Rima di jalan itu.
[1] Bait terakhir puisi Kau Kopi Senja karya Agus Noor.