Review Film Danyang Wingit: Jumat Kliwon, Ritual Kelam Pertunjukkan Wayang!

Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Review Film Danyang Wingit: Jumat Kliwon, Ritual Kelam Pertunjukkan Wayang!
Poster film Danyang Wingit: Jumat Kliwon (instagram.com/filmdanyangwingit)

Di tengah maraknya film horor Indonesia yang sering kali mengandalkan jump scare murahan, Danyang Wingit: Jumat Kliwon hadir sebagai angin segar yang membungkus teror dalam lapisan budaya Jawa yang kental.

Disutradarai oleh Agus Riyanto dan diproduksi oleh Khanza Film Entertainment, film ini tayang perdana di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai 20 November 2025. Sebagai bagian dari gelombang horor akhir tahun, film ini langsung menuai antusiasme tinggi, dengan tiket gala premiere ludes terjual ribuan lembar hanya dalam hitungan jam pasca-konferensi pers pada 8 November 2025.

Bagi penonton yang haus akan narasi mistis lokal, ini adalah tontonan wajib yang tak hanya menakutkan, tapi juga menggugat ambisi manusiawi di balik tradisi sakral.

Sinopsis: Ambisi Abadi yang Berujung Kutukan

Salah satu adegan di film Danyang Wingit: Jumat Kliwon (instagram.com/filmdanyangwingit)
Salah satu adegan di film Danyang Wingit: Jumat Kliwon (instagram.com/filmdanyangwingit)

Cerita Danyang Wingit: Jumat Kliwon berlatar di dunia pedalangan wayang kulit Jawa, di mana mitos dan ritual kuno menjadi napas utama plot.

Tokoh sentral adalah Ki Mangun Suroto (diperankan apik oleh Whani Darmawan), seorang dalang ternama yang bukan sekadar seniman tradisional. Di balik pertunjukan wayangnya yang memukau, Ki Mangun menyimpan rahasia kelam: ambisi untuk meraih keabadian dan kesaktian melalui ilmu hitam terlarang.

Ia percaya bahwa dengan menggunakan kulit manusia sebagai bahan wayang, roh korban akan terperangkap, memberinya kekuatan supranatural. Ritual ini mencapai puncak pada malam Jumat Kliwon, yang bertepatan dengan fenomena gerhana bulan merah, momen di mana batas dunia nyata dan gaib menjadi tipis.

Masuklah Citra (Celine Evangelista), seorang wanita muda yang direkrut sebagai sinden oleh Mbok Ning (Djenar Maesa Ayu), asisten setia Ki Mangun yang ternyata adalah bibinya sendiri.

Citra awalnya tergiur oleh janji pekerjaan yang prestisius, tapi segera terjebak dalam jaringan konspirasi. Ia menjadi tumbal terakhir dalam ritual keabadian sang dalang. Bersama Bara (Fajar Nugra), kekasihnya yang skeptis terhadap mistisisme, Citra mulai mengungkap lapisan demi lapisan kegelapan: dari pusaka wayang yang bergerak sendiri hingga penampakan danyang wingit, penjaga gaib yang haus balas dendam.

Konflik keluarga, pengkhianatan, dan perlawanan terhadap hasrat kekuasaan menjadi inti cerita, di mana wayang bukan lagi sekadar boneka kulit, tapi simbol kutukan yang hidup.

Naskah karya Dirmawan Hatta berhasil menyatukan elemen okultisme dengan kritik sosial halus terhadap obsesi kekuasaan. Plotnya bergerak lambat di awal untuk membangun atmosfer, tapi meledak di klimaks dengan twist yang tak terduga, meski beberapa penonton mengeluhkan pacing yang kadang terasa bertele-tele.

Review Film Danyang Wingit: Jumat Kliwon

Salah satu adegan di film Danyang Wingit: Jumat Kliwon (instagram.com/filmdanyangwingit)
Salah satu adegan di film Danyang Wingit: Jumat Kliwon (instagram.com/filmdanyangwingit)

Salah satu kekuatan utama film ini adalah jajaran pemeran yang solid, khususnya para aktor berpengalaman di genre horor.

Celine Evangelista sebagai Citra tampil prima, menggabungkan kerapuhan emosional dengan ketangguhan yang meyakinkan. Ekspresinya saat menghadapi hantu-hantu wayang terasa autentik, mengingatkan pada perannya di Penanggalan atau Rumah Kentang.

Whani Darmawan sebagai Ki Mangun adalah highlight: karakternya yang karismatik tapi jahat membuatku bergidik, seolah melihat dalang sungguhan yang haus darah. Djenar Maesa Ayu sebagai Mbok Ning menambahkan kedalaman emosional, dengan nuansa konflik keluarga yang personal dan menyayat.

Debut akting Nathalie Holscher sebagai Putri Kusuma Ratih, seorang bangsawan korban ritual, juga patut diacungi jempol. Meski dikenal sebagai DJ, ia berhasil menyampaikan kepanikan dan misteri dengan baik, meskipun dialognya terkadang terasa kaku.

Fajar Nugra sebagai Bara berperan sebagai "penyelamat rasional", tapi karakternya kurang dieksplorasi mendalam, membuatnya terasa seperti pemanis plot. Pemeran pendukung seperti Aisyah Kanza (Dewi), Dimas Tedjo, dan Bilqis Hafsa menambah warna, terutama dalam adegan ritual yang membutuhkan intensitas kelompok.

Chemistry antar pemain juga terasa alami, terutama dalam adegan keluarga yang penuh ketegangan. Akan tetapi, menurutku skrip belum sepenuhnya matang, membuat transisi antar karakter terasa dipaksakan di bagian tengah.

Secara visual, Danyang Wingit: Jumat Kliwon unggul dalam menciptakan nuansa gotik Jawa. Sinematografi oleh tim Khanza menangkap keindahan desa pedalangan dengan cahaya remang-remang, di mana bayangan wayang menari seperti makhluk hidup.

Efek khusus untuk wayang kulit manusiawi cukup mencekam, terutama saat roh "bangkit" dan menatap langsung ke kamera, membuat bulu kuduk merinding. Sound design adalah senjata utama: suara gamelan yang berdentum pelan bercampur jeritan angin malam Jumat Kliwon, menciptakan immersion yang kuat. Editing Agus Riyanto sendiri rapi, meski beberapa jump scare terasa klise.

Musik latar, yang mengintegrasikan elemen tradisional seperti suling dan kendang, memperkuat tema pelestarian budaya. Film ini bukan hanya horor, tapi juga homage pada wayang sebagai warisan Nusantara, seperti yang ditekankan sutradara: "Wayang adalah budaya indah yang harus diperkenalkan ke generasi muda."

Sayangnya, CGI untuk elemen supranatural seperti danyang wingit terkadang terlihat murahan, terutama di layar lebar, yang bisa mengurangi impact di bioskop premium.

Di balik terornya, film ini menyisipkan pesan mendalam tentang bahaya hasrat kekuasaan. Ki Mangun mewakili ambisi tak terkendali yang mengorbankan yang terdekat, sebuah alegori relevan di era modern di mana tradisi sering dieksploitasi demi keuntungan pribadi.

Konflik keluarga Citra dan Mbok Ning menyoroti konsekuensi ritual: apa harga yang harus dibayar untuk "keabadian"? Ini membuat film terasa personal dan berlapis, bukan sekadar hiburan seram. Sebagai pelestarian cerita rakyat, ia berhasil menghidupkan mitos Jawa seperti Jumat Kliwon dan danyang wingit, yang jarang dieksplorasi di layar lebar.

Kelebihan film ini ada pada orisinalitas premis: siapa sangka wayang kulit bisa jadi sumber horor segar? Atmosfer mistisnya memabukkan, dan pesan moralnya menggugah, membuatku keluar bioskop dengan renungan, bukan hanya keringat dingin.

Namun, kekurangannya tak bisa diabaikan: skrip yang belum matang menyebabkan plot hole kecil, seperti motif Bara yang kurang jelas, dan pacing lambat di act dua yang bisa membuatku dan penonton yang lain gelisah. Untuk ritual kelamnya menegangkan, tapi eksekusi twist akhir terasa predictable.

Danyang Wingit: Jumat Kliwon adalah bukti bahwa horor Indonesia bisa lebih dari sekadar hantu penasaran; ia bisa jadi cermin budaya yang menyeramkan.

Dengan rating 7.5/10 dariku dan sangat recommended untuk penggemar mistis seperti Impetigore atau Kuntilanak.

Tayang sejak 20 November 2025 di jaringan bioskop seperti XXI, CGV, dan Cinema 21, buruan tonton sebelum gerhana bulan merah berikutnya! Kalau kamu siap bergidik dengan wayang yang "hidup", ini filmnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak