Di tengah maraknya film horor Indonesia yang biasanya hanya bikin merinding tapi sering terasa monoton dan kurang greget, genre horor-komedi selalu jadi penutup yang menyegarkan. Pesugihan Sate Gagak hadir bagai oase kocak yang penuh keabsurdan, menghibur, sekaligus meninggalkan kesan hangat di hati penonton. Digarap oleh duet sutradara Etienne Caesar dan Dono Pradana, film besutan Cahaya Pictures ini resmi rilis perdana di bioskop tanah air pada 13 November 2025.
Hingga saat ini, menjelang pergantian tahun yang ramai, film ini masih sangat worth it untuk ditonton—cocok banget buat kamu yang lagi butuh tontonan ringan namun tetap punya bobot. Berdurasi kurang lebih 100 menit, Pesugihan Sate Gagak sukses memadukan legenda pesugihan khas Jawa dengan gaya kekinian yang super gila, dan berhasil meraup rating cukup apik 7.2/10 di IMDb berdasarkan ulasan lebih dari seribu penonton.
Sinopsis: Dari Warteg Pas-pasan ke Ritual Bugil

Ceritanya berpusat pada tiga sahabat koplak: Anto (Ardit Erwandha), pegawai warteg yang hidup pas-pasan dan terdesak buat nikah sama pacarnya Andini (Yoriko Angeline) dengan mahar Rp 150 juta; Dimas (Yono Bakrie), si tukang ojek online yang ambisius; dan Indra (Benidictus Siregar), si pemimpi yang selalu bawa ide gila.
Mereka nekat ambil jalan pintas: pesugihan sate gagak, ritual mistis di mana mereka harus jualan sate gagak telanjang bulat ke makhluk halus di malam buta. Konsep ini terinspirasi legenda Jawa tentang kekayaan instan yang datang dengan harga mahal: telanjang berarti rentan, dan gagak melambangkan kematian atau roh jahat.
Sinopsisnya sederhana: dari tawa ngakak saat mereka latihan ritual absurd, sampai horor yang mulai merayap saat konsekuensi datang. Tanpa spoiler, film ini pintar mainin ekspektasi. Awalnya pure komedi tongkrongan, tapi pelan-pelan masukin drama persahabatan dan kritik sosial soal shortcut kekayaan di era kapitalis.
Plotnya mengalir cepat, tapi justru itu kekuatannya. Etienne dan Dono berhasil bikin narasi yang ringan tapi layered. Adegan pembuka di warteg Anto langsung ngena, menggambarkan realita anak muda urban yang terjebak antara mimpi dan tagihan. Ritual sate gagaknya? Gokil abis! Bayangin tiga cowok bugil jualan sate di pinggir jalan sambil ngobrol santai soal bola, itu absurditas murni yang bikin aku di bioskop sampai ngakak terbahak-bahak.
Review Film Pesugihan Sate Gagak

Tapi, di balik tawanya, ada pesan tajam: pesugihan bukan cuma soal mistis, tapi metafor buat godaan cepat kaya seperti pinjol atau investasi bodong. Film ini sukses nyentil isu ekonomi kelas bawah tanpa terasa preachy, malah lewat dialog tongkrongan yang relate banget.
Sayangnya, pacing kedua babak agak rush; editingnya kadang potong tiba-tiba, bikin timing komedi kurang pas. Horornya juga lebih ke jumpscare ringan daripada mencekam, cocok buat yang anti-seram tapi pengen sensasi mistis.
Karakter dan akting jadi tulang punggung film ini. Trio Gagak – julukan buat Anto, Dimas, dan Indra punya chemistry organik yang bikin setiap interaksi hidup. Ardit Erwandha sebagai Anto tampil natural, campur aduk antara polos dan nekat, mirip perannya di film indie sebelumnya.
Yono Bakrie, yang biasa di komedi slapstick, di sini tambah dimensi emosional; scenenya sama ibunya (diperankan apik oleh Cut Mini) bikin mata berkaca tanpa lebay. Benidictus Siregar sebagai Indra si paling gila ide, bawa energi hiperaktif yang bikin film nggak pernah boring.
Yoriko Angeline sebagai Andini nggak cuma love interest, tapi punya momen kuat yang nunjukin perempuan di sini nggak sekadar pelengkap. Pemeran pendukung seperti Mbok (Nunung) dan roh-roh jahat yang "kosmetik" tapi lucu, tambah warna. Secara keseluruhan, aktingnya solid, terutama improvisasi yang bikin dialog terasa autentik seperti ngobrol di warung kopi beneran.
Film ini debut yang raw tapi charming. Sinematografi oleh tim Cahaya Pictures mainin kontras gelap malam ritual dengan warna cerah siang hari, ciptain vibe horor komedi ala Scary Movie versi Jawa. Soundtracknya memorable, terutama lagu "Ojo Dibangedke" yang earworm banget, campur gamelan modern dengan beat pop yang langsung stuck di kepala pas pulang bioskop.
Efek visual roh gagaknya sederhana, tapi efektif buat jumpscare absurd. Kekurangannya? Beberapa jokes kasar soal kemaluan dan nudity yang muncul berulang, bisa bikin uncomfortable buat penonton sensitif dan terlalu homofobik atau outdated. Visualnya kadang inkonsisten, seperti transisi antar adegan yang terasa amatir, tapi itu justru menambah rasa indie yang fresh.
Pesugihan Sate Gagak bukan film sempurna. Menurutku horornya lemah, komedinya hit-or-miss, dan resolusi agak preachy soal konsekuensi shortcut. Tapi, di tengah dominasi horor formulaik, film ini brilian karena ide orisinalnya: pesugihan yang bikin kaya tapi bikin telanjang, secara harfiah dan kiasan.
Ini hiburan keluarga yang aman (dengan catatan umur 17+), bikin ngakak sepanjang jalan tapi ninggalin aftertaste mikir soal persahabatan dan godaan dunia. Kalau kamu lagi stress sama tagihan akhir tahun, cus ke bioskop karena film ini masih tayang di XXI dan CGV sampai akhir Desember. Rating dariku: 8/10. Buat yang suka Gie Joko versi mistis atau pengin ketawa sambil belajar jangan nekat jual sate telanjang. Film ini bukti, horor Indonesia bisa lucu tanpa gore, dan komedi bisa dalam tanpa sok bijak.