Hayuning Ratri Hapsari | Tika Maya Sari
Sampul cerpen Bertemu dengan Ras Samudera (Doc. Pribadi/Tika Maya)
Tika Maya Sari

“Coba kemari.”

Aku menatap curiga pada seorang lelaki yang berjalan tanpa menoleh di depanku. Postur tubuhnya tinggi tegap, bahunya lebar, dan mengenakan setelan hitam dengan sepatu senada. Sekilas, dia bak model-model Eropa dalam mempromosikan brand pakaian ternama.

“Kau harus bertemu mereka,” tuturnya.

“Mereka siapa?” tanyaku. “Kamu sendiri siapa?”

“Kau kenal Wang? Michelle Wang?”

Aku terkejut begitu dia menyebut nama itu. Michelle Wang adalah seorang perempuan ceria yang menunggangi jabatan penting di sebuah penerbitan terkenal, sekaligus editor senior di sana. Aku mengenalnya beberapa bulan belakangan.

“Kak Michelle?”

“Yah, siapa pun nama panggilannya.”

Lelaki tadi terus berjalan menyusuri jalan setapak, dan berakhir dengan semak tanaman ekor tupai yang seakan membentuk gerbang. Dia lalu menyibak semak tadi, hingga tampaklah lanskap taman cantik. Mirip seperti taman kota, tetapi tanpa riuh suasana perkotaan.

Rerumputannya tertanam rapi dan menghijau, dengan beberapa spesies bunga cantik seperti marigold, sesemak butterfly pea biru, bunga terompet ungu, dan entah apalagi namanya. Pokoknya beraneka warna. Taman ini juga memiliki tiang lampu yang cantik dan bergaya antik.

“Selamat datang, dan salam kenal dari kami semua.”

Aku terkesiap saat lelaki tadi sedikit menepi dari depanku. Tangannya tampak menjulur ke arah depan, seolah memintaku untuk menyapa apa atau siapa di depan sana.

“Kami memang tidak memiliki nama khusus. Tapi kami mengenal Michelle Wang. Dan dia bilang, kau sedang diganggu oleh orang aneh yang ‘membutakan matamu’.”

Aku kembali terpesona. Kali ini bukan pada lanskap taman yang cantik, melainkan pada sekumpulan lelaki muda yang sedang nyantai. Penampilan mereka nyaris mirip semua, bahkan gaya pakaiannya pun mirip, serba hitam. Walau begitu, mereka malah menyerupai sekumpulan idol luar negeri.

“Hei, kau dengar aku?”

“Oh, hai. Anu…gimana?”

Lelaki tadi berdecak malas. “Wang bilang, kau diganggu oleh sesuatu yang sempat kau jadikan tulisan.”

“Ah, iya.” Aku mulai khawatir kalau mengingatnya. “Harusnya aku nggak nulis begituan.”

Lelaki tadi kemudian duduk santai di rerumputan. “Sialnya, dia memiliki kubu yang jahat dan cukup kuat.”

“Bung, jangan lupa. Mereka suka main keroyokan!” imbuh salah satu diantara mereka yang tampak asyik bermain catur.

Aku tahu ini adalah kesalahan fatal. Membuat tulisan tentang mereka yang tidak satu Wangsa denganku adalah kebodohan murni. Apalagi, rupanya entitas jahat mengalir dalam diri mereka.

“Erika, jangan sampai kau jatuh hanya karena rupanya yang memesona. Coba kau lihat kesana,” tunjuk lelaki tadi.

Aku mengikuti arah telunjuknya, dan mendapati perkelahian sengit macam dunia fantasi atau manhwa historical. Disana, tampak seorang lelaki rupawan berbusana hitam dan mirip dengan yang disini, sedang bertempur dengan tiga entitas mengerikan. Ada yang berbusana biru dengan mata merah besar dan lidah menjulur ke tanah, ada juga yang berbusana merah dengan mata terbakar, dan yang berbaju putih dengan mata hitam mengerikan.

“Pemimpin mereka masih buron, dan masih dalam pengejaran kami.”

Perkelahian ‘tidak seimbang’ itu terjadi di dekat sungai yang seolah menjadi pembatas taman cantik ini dengan hutan berkabut di seberang sana. Si lelaki yang mirip dengan koloni disini tampak begitu santai. Dia bahkan tidak mengeluarkan tenaga yang berarti. Berbeda dengan ketiga lawannya yang kelihatan ngos-ngosan, bahkan muntah darah.

“Mau taruhan siapa yang akan menang?” 

Aku menatap lelaki di sebelahku sejenak, sebelum mengamati kawanannya yang lain. Mereka semua tampak santai, seolah pertarungan di depan sana hanyalah angin lalu, dan memilih bermain catur, bermain kartu, atau malah rebahan.

“Erika, sekali lagi kukatakan padamu untuk tidak mudah jatuh hati kepada mereka yang berwajah rupawan.” Aku kembali menatap mata aneh lelaki di sebelahku. “Dan kebencian yang kau pendam sendiri, akan memudahkan setan untuk menyesatkan.”

“Kalau kau ingin jatuh hati, jatuh hatilah pada mereka yang satu Wangsa denganmu,” celetuk yang lain.

“Hiduplah sebagaimana makhluk hidup yang penuh semangat berkobar. Aku yakin, kau punya janji-janji yang harus kau tepati, dan tujuan yang ingin kau penuhi.”

Aku mendapati senyum lelaki di sebelahku sebelum kesadaran menghantamku secara tiba-tiba. Bahwasanya aku tertidur di meja kedai kopi, dengan Kak Arin yang sibuk dengan laptopnya. Kening perempuan yang juga editor itu berkerut, sebelum menggelengkan kepala.

“Mungkin, scene yang ini dihapus aja gimana, Erika? Agak berat sih,” tawar Kak Arin. “Oh, kamu ketiduran?”

Aku mengucek mataku. “Kayaknya aku harus pesan kopi lagi, deh.”

Sebelum Kak Arin kembali bicara, Kak Michelle lebih dahulu bersuara, “Jangan kebanyakan ngopi, nggak bagus buat badan.”

Kali ini aku mengamati si editor senior, Kak Michelle Wang yang tengah menumpu wajah dengan kedua tangan, sembari tersenyum penuh makna. “Gimana? Sudah ketemu dengan mereka?”

“Mereka siapa?” tanyaku pura-pura bodoh. “Aku ketiduran barusan.”

Kak Michelle mengerjapkan kedua mata dengan ekspresi sok polos, sebelum kembali tersenyum penuh arti. “Ras Samudera?”