Lintang Siltya Utami | Ryan Farizzal
Ilustrasi foto matahari terbenam di laut (Unsplash/Todd Rhines)
Ryan Farizzal

Di sebuah desa kecil yang terpencil di lereng gunung, hiduplah seorang gadis bernama Lestari. Desanya tak pernah melihat Matahari sejak puluhan tahun lalu. Awan abu vulkanik menutupi langit seperti selimut tebal yang tak pernah terbuka. Tanaman layu, sungai mengering, dan penduduk bertahan dengan lampu minyak serta cerita-cerita lama tentang “Matahari” yang konon pernah menyinari dunia.

Lestari berbeda. Sejak kecil, ia bermimpi tentang cahaya hangat yang menyentuh kulitnya. Dalam mimpinya, cahaya itu memiliki nama: Surya. Ia sering duduk di atas bukit tertinggi desa, menatap awan hitam, dan berbisik, “Surya, kapan kau datang?”

Suatu malam, saat badai petir mengguncang desa, Lestari mendengar suara aneh dari dalam gua tua di belakang rumahnya. Suara itu lembut, seperti bisikan angin musim panas. “Lestari… aku di sini.”

Ia memberanikan diri masuk ke gua dengan obor kecil. Di ujung terowongan gelap, ia menemukan sebuah bola cahaya kecil yang mengambang, seukuran telur burung. Cahaya itu berdenyut pelan, berwarna emas kebiruan, dan hangat saat disentuh.

“Aku Surya,” kata cahaya itu dengan suara yang terdengar seperti tawa anak kecil bercampur angin laut. “Aku Matahari yang hilang.”

Lestari terpana. “Matahari? Tapi kau… kecil sekali.”

Surya tertawa. “Dulu aku besar, membakar langit dengan api yang tak pernah padam. Tapi saat gunung meletus bertahun-tahun lalu, aku terpisah dari tubuhku yang besar di angkasa. Abu vulkanik menyakitiku, membuatku menyusut dan jatuh ke Bumi. Aku bersembunyi di gua ini, menunggu seseorang yang masih percaya padaku.”

Lestari duduk di depan Surya. “Kenapa kau punya nama?”

“Karena aku hidup,” jawab Surya. “Setiap Matahari punya nama. Namaku Surya karena aku lahir dari api purba yang dinamai demikian oleh leluhur kalian. Tapi aku lelah sendirian. Aku ingin pulang, tapi tak cukup kuat.”

Lestari merasa ada ikatan aneh dengan bola cahaya itu. Setiap malam, ia datang ke gua, bercerita tentang desanya, tentang ibunya yang sakit karena dingin abadi, tentang anak-anak yang tak pernah tahu warna biru langit. Surya mendengarkan, dan perlahan, cahayanya semakin terang.

Hari demi hari, Surya bertambah besar. Dari seukuran telur menjadi seukuran kepala manusia, lalu seukuran keranjang anyaman. Penduduk desa mulai curiga karena gua itu kini memancarkan cahaya lembut di malam hari. Mereka takut. Kepala desa memerintahkan untuk menutup gua dengan batu besar.

Malam itu, Lestari berlari ke gua. “Surya, mereka akan mengurungmu!”

“Aku tahu,” kata Surya, suaranya kini lebih dalam. “Tapi aku hampir cukup kuat. Satu hal lagi yang kubutuhkan: keberanian seseorang untuk membawaku ke puncak gunung. Di sana, aku bisa menembus awan dan kembali ke tempatku.”

Lestari tak ragu. Ia memeluk Surya yang kini sebesar bola besar, hangat seperti pelukan ibu. Dengan susah payah, ia menggendongnya menaiki lereng gunung yang curam. Badai petir menyambutnya, angin menusuk tulang, tapi ia terus berjalan.

Di puncak gunung, awan hitam berputar seperti monster raksasa. Lestari menangis. “Aku takut kau pergi selamanya.”

Surya berbisik, “Aku tak pernah benar-benar pergi. Setiap pagi, aku akan menyapa kamu pertama kali. Janji.”

Lestari melempar Surya ke angkasa dengan sekuat tenaga. Bola cahaya itu melesat, membelah awan hitam seperti pisau panas. Ledakan cahaya menyilaukan terjadi. Awan abu pun terkoyak, sinar emas membanjiri Bumi untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun.

Penduduk desa berlarian keluar rumah. Mereka menangis melihat langit biru, merasakan hangatnya sinar di kulit mereka. Tanaman yang layu mulai menghijau dalam hitungan hari. Sungai mengalir kembali.

Lestari berdiri di puncak, tersenyum meski air mata mengalir. Di ufuk timur, Matahari baru terbit—lebih terang, lebih hangat dari yang pernah diceritakan leluhur.

Setiap pagi setelah itu, saat sinar pertama menyentuh wajah Lestari, ia selalu berbisik, “Selamat pagi, Surya.”

Dan dari langit, angin hangat seolah membalas, “Selamat pagi, temanku.”

Matahari itu memang bernama Surya. Bukan sekadar benda langit, tapi sahabat yang pernah jatuh, dan kembali karena keberanian seorang gadis kecil yang percaya pada cahaya.