Aku selalu berada di saf paling depan.
Datang lebih awal, sajadah terbentang rapi, baju bersih, wangi sabun masih menempel. Orang-orang mengenalku sebagai pemuda yang “lurus”. Rajin. Tertib. Tidak pernah bolong salat. Tidak pernah ketinggalan kajian.
Tetapi, setiap kali aku sujud, dadaku kosong.
Seperti menunduk pada lantai, bukan pada Tuhan.
Aku hafal doa-doa panjang, tetapi sering lupa rasanya berharap. Aku tahu kapan harus mengucap amin, tetapi tidak yakin pada siapa aku sedang berbicara. Ibadahku sempurna secara teknis, namun hampa secara batin.
Aku pikir itu normal. Sampai suatu malam aku bertemu Haris.
Haris bukan tipe orang yang akan kau dudukkan di saf depan. Jaketnya kusam, rambutnya berantakan, dan salatnya… jujur saja, sering terlambat. Namun, malam itu, di musala kecil dekat stasiun, ia menangis saat berdoa.
Bukan isak dramatis. Bukan suara keras. Tangis pelan, seperti orang yang terlalu lelah untuk berteriak.
Aku terganggu. Tangisan itu merusak keteraturan.
Setelah salat, aku menegurnya dengan nada yang kuberi label “nasihat”.
“Mas, kalau mau doa, jangan berisik. Ganggu jemaah.”
Ia menatapku. Matanya merah, tetapi ada sesuatu di sana. Tenang. Jujur.
“Maaf,” katanya. “Saya lupa. Soalnya… saya lagi butuh Tuhan.”
Kalimat itu menampar lebih keras dari ceramah mana pun.
Butuh Tuhan.
Aku pulang dengan kepala penuh. Selama ini aku rajin ibadah, tetapi… kapan terakhir kali aku butuh Tuhan?
Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu Haris. Di warung kopi kecil dekat musala. Ia duduk sendirian, menatap gelas kopi seperti sedang berdialog dengannya.
Kami mengobrol.
Haris mantan aktivis. Hidupnya pernah rapi: pekerjaan bagus, komunitas religius, agenda dakwah padat. Lalu satu per satu runtuh: ibunya meninggal, tunangannya pergi, dan ia berhenti “menjadi siapa-siapa”.
“Aku capek pura-pura kuat di depan Tuhan,” katanya. “Sekarang aku cuma datang apa adanya. Berantakan.”
Aku terdiam. Aku datang ke Tuhan dengan kostum terbaikku. Ia datang dengan luka terbuka.
Entah kenapa, rasanya… dia lebih dekat.
Sejak itu, aku mulai memperhatikan hal-hal kecil.
Doaku terasa seperti laporan rutin. Salatku seperti checklist. Aku tidak pernah jujur pada Tuhan tentang lelahku, marahku, kecewaku. Aku pikir iman itu tentang rapi, ternyata mungkin tentang jujur.
Suatu malam, aku mencoba berdoa tanpa teks hafalan. Tanpa kalimat indah.
“Tuhan… aku nggak tahu kenapa aku kosong,” kataku pelan.
“Kalau aku salah, tolong jangan jauh.”
Tidak ada petir. Tidak ada cahaya turun. Tetapi, dadaku terasa… longgar.
Seperti membuka kancing baju yang terlalu ketat.
Hari Jumat, aku datang ke masjid lebih awal seperti biasa. Saf depan lagi. Namun, kali ini, aku melihat Haris berdiri di belakang, ragu.
Aku memanggilnya.
Ia tersenyum canggung. “Aku kotor. Nanti aja.”
Aku tidak menjawab. Aku berdiri, menggulung sajadahku, dan berjalan ke belakang. Berdiri di sampingnya.
Untuk pertama kalinya, aku tidak di depan.
Dan anehnya, aku merasa… tepat.
Khotbah hari itu tentang iman dan konsistensi. Tentang disiplin. Tentang keteguhan. Biasanya aku mengangguk setuju. Namun, hari itu, aku mendengar kalimat lain di kepalaku:
Tuhan tidak mencari penampilan. Tuhan menunggu kejujuran.
Saat doa penutup, Haris kembali menangis. Aku tidak terganggu. Aku ikut menunduk lebih dalam.
Bukan karena aku suci.
Melainkan karena aku akhirnya sadar: aku juga rapuh.
Beberapa bulan berlalu.
Aku masih salat. Masih ke kajian. Masih belajar. Tetapi, sekarang aku berani jujur pada Tuhan—tentang iri, tentang takut gagal, tentang lelah jadi “orang baik”.
Dan Tuhan… tidak pergi.
Aku yang dulu menjaga jarak, berlindung di balik rutinitas.
Suatu malam, Haris tidak datang ke musala. Besoknya juga tidak. Minggu berikutnya, aku mendengar kabar: ia meninggal karena sakit yang tak pernah ia ceritakan.
Di pemakamannya, aku berdiri lama. Tidak ada pidato. Tidak ada pujian panjang. Hanya doa sederhana.
“Tuhan, terima kasih sudah menerima dia apa adanya.”
Air mataku jatuh. Aku sadar sesuatu: Haris tidak pernah “menemukan” Tuhan. Ia tidak pernah kehilangan-Nya.
Akulah yang selama ini menjauh pelan-pelan, sopan, rapi… tetapi menjauh.
Malam itu, aku salat sendirian. Tidak di saf depan. Tidak di belakang. Sendirian.
Aku sujud lama.
“Tuhan,” bisikku, “kalau suatu hari aku terlihat baik tapi hatiku kosong, tolong ingatkan aku bahwa Engkau tidak pergi.”
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidak merasa sendirian saat bangkit dari sujud.
Karena mungkin… iman bukan soal seberapa sering kita datang dengan sempurna, melainkan seberapa berani kita datang dengan jujur.
Baca Juga
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Bakar-Bakaran Malam Tahun Baru, Tradisi Sederhana yang Selalu Dinanti
-
XD Jepang Midorikawa/Saito Resmi Berpisah, Ada Kekecewaan yang Terungkap
-
Kim Min Kyu dan Kang Han Na Jatuh Cinta Lewat Email di Drama Love Track
-
CERPEN: Tawa Misterius di Kamar Asrama
-
Tidurnya di Serambi Masjid, Bangunnya di Keranda Mayat