Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Ilustrasi pria kelelahan mental (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ponsel pintar, email, notifikasi aplikasi, dan rapat virtual telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Teknologi memang memudahkan, tetapi sekaligus membawa sisi gelap yang semakin nyata dirasakan banyak orang, digital fatigue dan mental overload.

Bangun tidur buka media sosial, menjelang malam mulai menggulir laman online shopping. Aktivitas sehari-hari seolah tak lepas dari layar ponsel. Otak terus-menerus dibombardir oleh berbagai informasi yang tidak perlu.

Pernah gak setelah lihat media sosial selama beberapa waktu justru merasa capek? Denger notifikasi malah jadi panik? Nah ini yang disebut sebagai digital fatigue dan mental overload. Dua istilah ini menjadi penanda bahwa kelelahan bukan hanya soal fisik, tapi juga tekanan psikologis akibat interaksi terus-menerus dengan dunia digital.

Apa Itu Digital Fatigue dan Mental Overload?

Ilustrasi digital fatigue (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Digital fatigue adalah kondisi kelelahan akibat terlalu lama berinteraksi dengan perangkat digital baik untuk bekerja, belajar, maupun hiburan.

Dilansir dari Psychology Today (8/4/2023) digital fatigue adalah perasaan lelah dan jenuh karena terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar dalam hidup kita.

Menggulir layar dan mengirim pesan teks tanpa henti dan terkadang menjadi kebiasaan membatasi perhatian kita dan dapat membuat kita lelah. Kita bahkan dapat melihat penurunan produktivitas kita sementara pada saat yang sama berjuang untuk melepaskan diri. 

Sementara itu, mental overload merujuk pada kondisi otak menerima terlalu banyak informasi dalam waktu singkat, sehingga kesulitan menyaring mana yang penting dan mana yang tidak.

Gabungan keduanya menciptakan fenomena yang kini dialami oleh banyak orang, terutama mereka yang bekerja atau belajar dari rumah. Tanpa batas ruang dan waktu yang jelas, notifikasi demi notifikasi hadir tanpa henti, seolah meminta atensi setiap detiknya.

Notifikasi: Gangguan Sekaligus Tekanan

Ilustrasi digital fatigue (Pexels.com/Thirdman)

Awalnya, notifikasi dirancang untuk membantu kita tetap terhubung dan terorganisir. Tapi kini, notifikasi justru sering menjadi sumber gangguan yang menimbulkan kecemasan. Ketika layar ponsel menyala, muncul tekanan psikologis untuk segera merespons, seolah ada tuntutan tak terlihat untuk selalu siap.

Studi menunjukkan bahwa frekuensi notifikasi berkorelasi dengan meningkatnya stres, penurunan konsentrasi, dan perasaan kewalahan. Kita merasa tidak pernah benar-benar "selesai" karena selalu ada sesuatu yang harus ditanggapi.

Dampak Psikologis yang Tidak Bisa Diabaikan

Ilustrasi kelelahan mental (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Ketika tubuh lelah, sinyalnya terlihat jelas seperti menguap, lesu, ingin tidur. Namun ketika mental yang lelah, gejalanya bisa samar dan sering kali diabaikan.

Interaksi terus-menerus dengan perangkat digital membuat otak nyaris tak pernah “istirahat”. Saat notifikasi datang silih berganti, bukan hanya waktu yang terkuras, tapi juga kapasitas emosi dan kognitif kita. Inilah dampak-dampak psikologis yang sering dialami, meski tak selalu disadari:

1. Kecemasan dan Stres Berkepanjangan

Tuntutan untuk selalu standby membalas pesan segera, ikut meeting daring tanpa jeda, hingga mengikuti info terbaru membuat otak kita dalam mode siaga terus-menerus. Hal ini memicu hormon stres seperti kortisol, yang jika terjadi dalam jangka panjang dapat meningkatkan kecemasan, rasa tegang, bahkan burnout.

2. Gangguan Tidur

Paparan layar, terutama di malam hari, menghambat produksi melatonin—hormon yang membantu kita tidur. Notifikasi yang masih aktif di malam hari pun dapat membuat tidur menjadi tidak nyenyak. Bahkan hanya membaca pesan “kerja” sebelum tidur bisa memicu pikiran aktif yang mengganggu proses istirahat mental.

3. Penurunan Fokus dan Produktivitas

Otak kita tidak dirancang untuk menerima terlalu banyak stimulasi sekaligus. Ketika notifikasi datang dari berbagai arah, konsentrasi mudah terpecah. Akibatnya, waktu menyelesaikan satu tugas jadi lebih lama, dan hasil kerja pun tidak optimal. Multitasking digital membuat kita sibuk, tapi belum tentu produktif.

4. Menurunnya Kualitas Hubungan Sosial

Ironisnya, terlalu banyak komunikasi digital bisa membuat hubungan nyata jadi hambar. Ketika perhatian terus terbagi antara layar dan orang di hadapan kita, koneksi emosional bisa memudar. Kita bisa hadir secara fisik, tapi tidak secara psikologis yang pada akhirnya menciptakan jarak dalam relasi.

Di era informasi, atensi adalah aset berharga. Ketika terlalu banyak hal bersaing untuk mendapat perhatian maka kita harus pandai memilah mana berita yang penting dan mana yang tidak?

Digital fatigue dan mental overload adalah sinyal bahwa kita butuh jeda bukan dari pekerjaan semata, tapi dari tekanan menjadi selalu aktif. Belajar menyaring, menyetop, dan membatasi adalah bentuk menghargai diri sendiri. Karena kadang, hening dan diam adalah bentuk kebijaksanaan yang paling menyelamatkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Davina Aulia