Fenomena “tsundoku” telah menjadi topik yang menarik perhatian banyak orang, terutama di kalangan pecinta buku atau orang yang memiliki hobi membaca buku. Istilah ini berasal dari bahasa Jepang yang menggambarkan kebiasaan membeli buku tetapi tidak membacanya.
Dalam dunia yang semakin sibuk dan penuh distraksi ini, banyak dari kita terjebak dalam siklus membeli buku baru, hanya untuk melihatnya teronggok di rak tanpa pernah dibaca. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita telusuri lebih dalam.
Salah satu alasan utama mengapa kita sering membeli buku tetapi tidak membacanya adalah rasa kepuasan instan yang kita dapatkan dari proses pembelian itu sendiri.
Ketika kita membeli buku, ada perasaan seolah-olah kita sedang berinvestasi dalam pengetahuan dan pengembangan diri. Buku baru memberikan harapan dan janji akan pengalaman baru, ide-ide segar, dan pengetahuan yang berharga.
Namun, setelah buku tersebut berada di tangan kita, sering kali kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang membuat kita sulit untuk meluangkan waktu membaca. Rasa puas yang kita dapatkan dari membeli buku sering kali tidak diimbangi dengan komitmen untuk membacanya.
Selain itu, banyaknya pilihan buku yang tersedia di pasaran juga berkontribusi pada fenomena ini. Dengan berbagai genre, penulis, dan tema yang menarik, kita sering kali merasa terdorong untuk memiliki lebih banyak buku daripada yang bisa kita baca.
Kita mungkin membeli buku karena rekomendasi teman, ulasan di media sosial, atau bahkan hanya karena sampulnya yang menarik. Dalam prosesnya, kita mengumpulkan tumpukan buku yang terus bertambah, sementara waktu untuk membaca semakin berkurang.
Hal ini menciptakan semacam tekanan untuk memiliki koleksi buku yang besar, yang pada akhirnya membuat kita merasa bersalah jika tidak membacanya.
Tekanan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap fenomena tsundoku. Di banyak kalangan, memiliki koleksi buku dianggap sebagai simbol status dan kecerdasan.
Kita sering kali merasa bahwa memiliki banyak buku akan membuat kita terlihat lebih berpendidikan atau lebih menarik di mata orang lain. Dalam upaya untuk memenuhi ekspektasi ini, kita membeli buku-buku yang mungkin tidak kita minati, hanya untuk menambah jumlah koleksi.
Akibatnya, rak buku kita dipenuhi dengan buku-buku yang tidak pernah kita sentuh, sementara kita merasa terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak produktif.
Rasa cemas juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering kali merasa tertekan untuk menyelesaikan buku dengan cepat. Kita mungkin merasa bahwa kita harus membaca buku tertentu untuk mengikuti tren atau untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Ketika kita merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut, kita cenderung menunda membaca atau bahkan mengabaikan buku-buku tersebut sama sekali. Rasa cemas ini dapat membuat kita merasa tidak nyaman dan akhirnya menghindari aktivitas membaca yang seharusnya menyenangkan.
Namun, meskipun fenomena tsundoku sering kali dipandang negatif, ada sisi positif yang bisa kita ambil. Kebiasaan membeli buku menunjukkan bahwa kita memiliki minat dan keinginan untuk belajar. Buku-buku yang kita beli, meskipun tidak dibaca, tetap menyimpan potensi untuk menginspirasi kita di masa depan.
Suatu saat, kita mungkin menemukan waktu dan motivasi untuk membaca buku-buku tersebut, dan ketika itu terjadi, kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga.
Penting untuk diingat bahwa setiap buku yang kita beli adalah sebuah investasi, dan meskipun kita tidak membacanya saat ini, potensi untuk belajar dan berkembang selalu ada. Mungkin, dengan sedikit kesadaran dan pengelolaan waktu yang lebih baik, kita bisa mengubah kebiasaan ini dan menemukan kembali cinta kita terhadap membaca.
Baca Juga
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Beg, Borrow, or Steal: Perpaduan Antara Romansa dan Humor
-
Tragedi Pedang Keadilan: Sebuah Pembelajaran tentang Luka dan Pengampunan
-
Narasi Kehidupan yang Mengajarkan Empati: Sisi Tergelap Surga
-
Perjalanan Menerima Diri dan Luka di Masa Lalu: Ulasan Buku Alvi Syahrin
-
Merenungi Peran Buku dalam Kehidupan di Novel 'The Door-to-Door Bookstore'
Hobi
-
FIFA Match Day Kontra Taiwan dan Potensi Debut para Pemain Anyar Pasukan Garuda
-
Mees Hilgers Tolak Panggilan Timnas, Kluivert dan PSSI Kompak Kasih Sentilan Halus
-
FIFA Matchday 2025: 3 Hal Ini akan Membuat Indonesia Sangat Malu jika Kalah dari China Taipei
-
Patrick Kluivert Hubungi Presiden Lille Gegara Calvin Verdonk, Bahas Apa?
-
FIFA Matchday 2025: Lawan China Taipei, Timnas Indonesia Seperti Disodori Buah Simalakama
Terkini
-
Inside Out oleh Day6: Pengakuan Cinta yang Tak Bisa Lagi Ditunda
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
Shotty oleh Hyolyn: Melepaskan Diri dari Seseorang yang Tak Menghargaimu
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Momen Langka! Rhoma Irama Jadi Khatib Salat Jumat di Pestapora, Intip Lagi Yuk Rukun dan Sunnahnya