Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Meliana Aryuni
Ilustrasi petani (pixabay)

Indonesia dari dulu disebut sebagai negara agraris? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agraris memiliki tiga pengertian. Pengertian pertama mengenai pertanian atau tanah pertanian. Pengertian kedua mengenai pertanian atau cara hidup petani. Sementara yang ketiga adalah bersifat pertanian.

Indonesia memang negara yang subur, sehingga banyak penduduk menopang kehidupan dengan bercocok tanam sayuran atau buah-buahan. Oleh karena itulah Indonesia dijuluki sebagai negara agraris.

Namun, tahukah kamu bahwa terjadi penurunan jumlah petani sekarang ini? Data ini berdasarkan pada catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020. Ada sekitar 33,4 juta petani yang bergerak di semua komoditas sektor pertanian. Angka tersebut jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan jumlah petani pada 2019 yang mencapai 34,58 juta.

Salah satu penyebab penurunan jumlah petani adalah urbanisasi. Ada keinginan penduduk untuk mencari penghidupan yang layak di kota. Mereka menganggap bahwa pendapatan sebagai petani tidak mampu mencukupi kebutuhan.

Selama 5 tahun tinggal di desa, saya pikir pendapat itu ada benarnya. Apalagi untuk petani sayur. Saya sangat kaget ketika satu kilogram tomat hanya dihargai Rp5 00,00. Secara hitung-hitungan, harga itu sangat tidak menutupi biaya pengeluaran untuk memelihara sayuran itu sendiri.

Dengan keadaan seperti itu, para petani sayur kadang sengaja tidak menjual sayurannya dan hanya dibagi-bagikan dengan tetangga. Seorang tetangga saya yang petani cabai misalnya, dia bisa menghabiskan modal Rp 20 juta hanya untuk cabai. Pengeluaran mencengangkan itu terjadi, karena perawatan untuk mendapatkan kualitas cabai yang berkualitas baik ternyata tidak mudah.

Biaya perawatan untuk pertumbuhan batang, daun, dan buah tak murah. Belum lagi untuk penyemprotan hamanya. Pemeliharaan itu bisa dilakukan dua minggu sekali. Bahkan petani kol atau kubis harus melakukan penyemprotan seminggu sekali agar hasilnya memuaskan dan tidak banyak dibuang.

Jadi, wajar jika para petani banyak yang ingin berganti profesi dan merantau keluar desa. Mereka berharap dengan merantau bisa meningkatkan taraf kehidupan. Apalagi anggapan pekerjaan di kota tidak sesulit di desa.

Kekecewaan para petani ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Karena petani adalah tonggak ekonomi dan pangan di Indonesia. Hidup masyarakat Indonesia tergantung pada apa yang telah diusahakan petani. Dari tangan mereka, sayuran dan buah-buahan tersaji untuk dinikmati masyarakat.

Sebenarnya bisa saja jumlah petani meningkat bila kita mampu membantu mengatasi keluhan mereka. Mereka mengeluh karena pengeluaran dan pemasukan dari hasil pertanian tidak sepadan. Mereka yang bersusah payah, mulai dari pembibitan sampai penyaluran hasil panen, tetapi segelintir orang yang mendapatkan hasil lebih banyak.

Penetapan harga sekehendaknya sendiri dari pengepul membuat para petani bisa meringis di dalam hati. Mereka terpaksa menerima harga itu. Mereka tidak tahu harus mendistribusikan hasil pertanian, kecuali kepada tengkulak yang telah dikenal. Namun, tengkulak dengan seenaknya menetapkan harga.

Bagi mereka, jika hanya mengharapkan hasil sayuran atau buah-buahan, dapur mereka mungkin tidak akan berasap. Panen sayur tidak tiap hari dan harganya pun tidak stabil. Untuk menutupi kekurangan itu, mereka rela menjalani pekerjaan apa pun, seperti menjadi buruh bangunan.

Selain itu, mereka mencoba untuk berkebun kopi dan merica, meskipun hasilnya akan dirasakan setahun kemudian. Hal itu mereka lakukan karena ada harapan di masa depan.

Kita sebagai orang awam bisa menolong mereka. Saya pun hanya bisa melakukan sedikit  untuk membantu petani di sini. Misalnya, saya lebih suka membeli sayuran atau buah-buahan dari petani langsung. Dengan begitu, patokan harga mereka yang menentukan. Biasanya, petani itu akan memberikan bonus untuk pembelian saya. Bila belanja sayuran dan buah-buahan ke pasar, saya berusaha untuk tidak menawarnya.

Kita seharusnya bersyukur memiliki orang yang mau menjadi petani. Dengan begitu, kita bisa makan sayuran dan buah-buahan tanpa bersusah payah menanam dan memeliharanya. Coba bayangkan jika harus berjibaku dengan tanah dan menunggu lama untuk mendapatkan sayuran yang diinginkan.

Oleh karena itu, negara ini pun harus berbangga kepada para petani. Bahkan apresiasi kecil dari pemerintah lewat program pendanaan akan sangat bermanfaat bagi petani-petani kita. Para petani adalah pejuang pangan yang jasanya tidak ternilai. Jangan sampai perjuangan itu sia-sia karena tidak adanya penghargaan terhadap usaha yang telah mereka lakukan.

Sumber:

Radartegal.com. 1 November 2020. Jumlah Petani Hanya Tersisa 33,4 Juta Orang, Julukan Indonesia Negara Agraris Bisa Hilang

Mudassir, Rayful. 20 Juni 2018. Ini Penyebab Turunnya Produktivitas Pertanian RI. Bisnis.com.

Aisyah, Novia. 18 Juli 2021. Mengapa Indonesia Disebut Negara Agraris? Ini Penjelasannya. Detik.com.

Meliana Aryuni