Tak peduli apa pun kepribadian seseorang. Entah seseorang itu memiliki kepribadian yang ekstrovert, introvert, maupun ambivert sekalipun, manusia tetaplah manusia. Kita memang diciptakan sebagai mahluk sosial yang saling bergantung pada orang lain.
Namun, setiap individu lahir dan menjalani kehidupan dengan kepala yang berbeda. Kita punya banyak pemikiran yang tentu membedakan satu dengan yang lain, jadi tak ada alasan untuk tak memberikan ruang tersendiri bagi hal yang berbeda tersebut.
Tak semua hal harus diperbincangkan pada dunia. Sama seperti halnya tak semua hal juga bisa diterima dengan baik di mata manusia yang lain. Ada banyak hal yang menjadi lingkup privasi, dan akan mendapatkan respons yang kurang baik jika mencium mata publik.
Saya mengamati orang-orang di sekitar saya, mulai dari seseorang yang begitu populer hingga dijuluki social butterfly, sampai orang pendiam yang cenderung menghabiskan waktu lebih banyak di kamar. Semuanya punya hal privasi tersendiri yang tak diungkap pada siapapun. Semua memiliki ruangnya tersendiri. Dan semua dilakukan sebagai bentuk rasa sayang terhadap diri sendiri.
Ketidaknyamanan, ketakutan atas penolakan, dan hal baik yang memang sengaja disembunyikan, pada intinya semua adalah demi kenyamanan untuk menjalani hari. Tak jauh berbeda dari orang lain, saya juga kerap kali menyisihkan waktu bagi diri saya sendiri.
Sekadar untuk menikmati secangkir cokelat panas, mendengarkan musik sebagai pengiring suasana, menghayati alur cerita dari buku yang saya baca, menonton film dengan bermacam genre, atau melakukan monolog di depan cermin.
Ketika menjalani aktivitas di luar, tentu ruang privasi untuk sendiri terbilang cukup sulit. Ada saat-saat dimana berkumpul bersama banyak orang begitu menguras tenaga dan melelahkan. Atau terkadang, perasaan sepi yang melintas kala berada di keramaian. Semua sebenarnya adalah tanda dari tubuh dan psikis, jika ia perlu waktunya sendiri.
Itulah hal terunik dalam diri kita sendiri. Menjadi diam tak lantas membuat kita berhenti melalui perbincangan dan perdebatan. Ada banyak kebisingan dan pergolakan hati serta pikiran yang justru terjadi pada diri sendiri. Oleh karena itu juga, menghadirkan ruang tersendiri bagi diri adalah bagian dari self-love. Karena tak mungkin memforsir semua tenaga tanpa memberikan diri sedikit jeda hanya untuk beristirahat. Reward pada diri sendiri tak selalu berupa uang atau barang, sisihkan waktu me time yang berkualitas juga merupakan bagian dari self-reward.
Baca Juga
-
Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal
-
Anatomi Kehidupan dari Laut: Pangan, Ekonomi, hingga Masa Depan Kita
-
Benteng Terakhir Pesisir: Mengapa Zona < 1 Mil Harus Dilindungi Total
-
Ketika Bencana Menjadi Keseharian: Ironi Nyata dari Ujung Pesisir
-
Mercusuar Cafe & Resto: Spot Foto Magical ala Negeri Dongeng di Bandung!
Artikel Terkait
-
Mens Sana in Corpore Sano: Bersepeda sebagai Wujud Self Love
-
Self Reward Sederhana: Menonton Idola, Baca Buku, dan Berburu Barang Lucu
-
Membiarkan Menatap Hasil Design, Bentuk Self Reward Usai Berkarya
-
Beli Buku sebagai Bentuk Self-reward yang Memotivasi!
-
Ritual Mandi, Bentuk Self Reward Paling Hakiki
Kolom
-
Tetap Junjung Etika, Stop Normalisasi Candaan Pakai Sebutan Nama Orang Tua
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
-
Kisah yang Tertinggal dari Penjual Sate di Pesisir Pasir Putih Situbondo
-
Permalukan Orang Jadi Hiburan: Fenomena Prank yang Melenceng Jadi Bullying!
Terkini
-
SEA Games 2025: 3 Pemain Filipina yang Patut Diwaspadai Indonesia di Pertarungan Perdana
-
Prediksi Line Up Timnas Indonesia vs Filipina, Hokky Caraka Layak Starter?
-
Ria Ricis Ungkap Kondisi Banjir Sumatra Barat: Kritis, Banyak Korban Hilang
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
Trailer Baru 28 Years Later: The Bone Temple, Sorot Konflik Antar Penyintas