Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Ilustrasi bermedia sosial. (Pixabay/Erick_Lucatero)

Kini media sosial hampir 24 jam ada dalam kehidupan kita dan sudah terjadi di mana-mana, lantas apakah wajar bermedia sosial di Masjid saat ada ceramah? 

Mengawali tulisan ini, saya sampaikan bahwa saya bukanlah ahli agama yang bisa menjustifikasi halal haramnya sesuatu dengan dalil-dalil agama, tetapi saya hanyalah orang awam yang ingin mengulik fenomena yang terjadi dalam lingkungan saya. 

Bukan hanya Rehan yang sulit untuk dilupakan, tetapi tidak bermedia sosial dalam sehari pun juga sungguh berat amat untuk ditinggalkan. Mengapa demikian? Media sosial hari ini sudah menjadi kebutuhan untuk bisa mengetahui segala informasi yang ada di dunia maya, yang hampir secepat kilat perubahannya. Dan juga sangat menggiurkan walau hanya scroll-scroll sosmed saja. 

Di mana-mana orang bermedia sosial, bahkan di Masjid sebagai tempat ibadah juga tak luput digunakan untuk keasyikan bermedia sosial. Bahkan saat mendengarkan ajaran dari petuah-petuah sekalipun alias penceramah, kerap kali dijumpai ada jemaah yang lebih asyik bermedia sosial ketimbang mendengarkan isi ceramah. 

Sebenarnya yang lebih fatal kalau di hari Jumat ada yang jemaah bermedia sosial sementara khutbah shalat Jumat berlangsung. Saya tidak punya otoritas sih untuk memvonis, tetapi beberapa literatur yang pernah saya baca dan saya dengar, kalau saat sedang berlangsung khutbah Jumat, para jamaah dianjurkan untuk mendengarkan dan tidak boleh bercakap-cakap, apalagi kalau bermedia sosial jelas tidak dianjurkan.

Sementara kalau ceramah yang bukan konteks khutbah Jumat tetapi masih di Masjid, ini yang kadang banyak dijumpai jemaah bermedia sosial pada saat ceramah berlangsung. Misalnya saja, saat ceramah shalat tarawih itu ada banyak dijumpai jemaah bermedia sosial. Bukan hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga terjadi di sudut-sudut pedesaan sekalipun. 

Apapun alasannya kenapa ada jemaah yang lebih suka bermedia sosial ketimbang mendengarkan isi ceramah, itu sih tergantung pada individu manusia. Mungkin saja isi ceramah yang tidak berbobot dan terkesan membosankan, sehingga lebih memilih untuk bermedia sosial. 

Artinya kalau karena sebab itu sehingga ada jemaah yang lebih suka bermedia sosial ketimbang mendengarkan isi ceramah, berarti para petuah-petuah kita (alias para penceramah) penting juga untuk mengevaluasi isi ceramah atau teknik penyampaian isi ceramah. 

Jangan sampai isi ceramah yang itu-itu saja atau seakan menghakimi para jemaah, ya kan tidak bisa juga jemaah dipaksa dengan keras untuk mendengarkan isi ceramah. Artinya perlu memang ada komunikasi yang intens antara penceramah dan jemaah untuk bisa ada nuansa romantis dalam proses ceramah berlangsung. 

Di sisi lain juga, para jemaah mesti tetap memakai adab dan menyesuaikan kondisi, kalau tidak terlalu penting amat sebisa mungkinlah untuk tidak bermedia sosial dulu saat sedang ada ceramah. Jangan sampai dengan tindakan bermedia sosial, justru dapat mengganggu proses ceramah, misalnya terdengar suaranya. Kan itu tidak baik dan kurang bermoral gitu lho. Lagi-lagi perlu ada unsur bisa saling memahami, karena dengan saling memahamilah segala sesuatu itu bisa terjalin erat dan bisa untuk diterima. 

Hal yang tak jarang juga dijumpai saat menjadi penceramah dijadikan sebagai momentum untuk bahan postingan di media sosial. Inilah yang memang kerap menjadi hal biasa untuk dilakukan. Namun kalau sudah posting kemudian masih melanjutkan bermedia sosial mungkin terkesan tidaklah baik, atau lebih banyak bermedia sosialnya ketimbang dengar isi ceramah. 

Sangat tidak elok rasanya kalau ada penceramah sedang berkoar-koar di mimbar, lantas banyak para jemaah yang juga asyik untuk bermedia sosial. Kalau ditelisik hal itu tidak ada unsur saling menghargai, artinya media sosial lebih mendominasi jemaah ketimbang mendengarkan isi ceramah. 

Namun hal yang pasti segala tindakan manusia, tentu bisa ditafsirkan oleh banyak orang. Dengan tindakan manusia pulalah, juga tidak bisa lepas dengan ruang dan hubungan kepada orang lain. Ada memang batas-batas moral dan etika yang patut dijaga sesuai dengan konteksnya, apalagi negara kita ini dikenal kental budaya dan adabnya. 

Iya, termasuk dalam forum ceramah dan khutbah. Untuk itu penceramah mesti bisa memperhatikan isi ceramah agar sebisa mungkin berbobot dan cara penyampaian yang menarik. Kemudian disisi lain pula para jemaah mesti bisa menanamkan nilai-nilai perhargaan yang diatur secara moral dan adab untuk menghargai orang yang berceramah. 

Video yang Mungkin Anda Suka.

Budi Prathama