Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Budi Prathama
Ilustrasi tiga Bacapres dan Bacawapres di Pilpres 2024. (Suara.com/Ema)

Awal tahun 2024 ini, hampir seluruh penjuru di Indonesia dipenuhi dengan perbincangan politik, terutama capres dan cawapres. Bagaimana tidak? Nasib kita ke depan mulai ditentukan pada 14 Februari nanti pada Pemilu 2024. Jadi, salah-salah pilih pemimpin, akibatnya pasti rakyat yang menanggungnya.

Perbincangan politik kali ini pun makin hangat, mulai dari lingkup paling kecil yang ada di pos-pos ronda desa dengan suguhan kopi hitam, sampai di lingkup nasional yang ditayangkan di berbagai media sosial yang ada. Hingga makin nyatalah sudah, kalau perbincangan politisi di momen ini makin sulit terhindarkan. 

Dalam media sosial misalnya, betapa kita bisa menyaksikan perbincangan dari para politisi mengenai kursi-kursi yang akan diperebutkan. Opini pun terus dibangun untuk bisa memberikan keyakinan kepada masyarakat siapa yang memang layak untuk dipilih. 

Koalisi sudah lama terbentuk, itu juga sudah makin menguat irisan para pendukung. Penggiringan opini dari masing-masing calon sudah nampak jelas bisa kita saksikan hari ini, mulai dari dunia nyata, apalagi kalau di dunia maya. 

Bahkan tak sedikit rasa simpati itu timbul dari seseorang melihat politisi kita hari ini, baik karena prestasinya, rekam jejaknya, atau bahkan adanya isu digoreng-goreng yang tidak benar, dan hal lain yang bisa membuat seseorang merasa iba kepada para politisi tertentu. 

Meski begitu, sebagai seorang pendukung, tak pantaslah kita terlalu berlebihan, apalagi sampai membuat terjadi perselisihan kepada saudara kita hanya karena beda pilihan. Beda pilihan itu hal wajar, tapi kalau sampai itu membuat kita bermusuhan, jelas itu bisa merugikan kita. 

Apalagi kalau sampai menangisi politisi tertentu karena suatu hal, membuat kecewa, dan bahkan sampai mengujar kebencian. Jelas itu tak ada gunanya sama sekali. 

Sebenarnya ada dua hal yang lebih layak untuk ditangisi oleh anak muda saat ini ketimbang menangisi politisi. Alasannya, kalau kamu tangisi politisi hari ini belum tentu juga mereka mendengarkan apa yang kamu rasakan kalau itu tidak selaras dengan kepentingan mereka. Oleh sebab itu, daripada menangisi politisi, ini dua hal yang justru lebih layak untuk ditangisi anak muda sekarang ini. 

1. Rekrutmen Lowongan Kerja yang Makin di Luar Nalar

Budaya lowongan kerja saat ini yang seharusnya lebih penting ditangisi hari ini ketimbang tangisi politisi. Selain kondisi lowongan kerja yang sulit didapatkan, nyatanya budaya rekruitmennya juga makin di luar nalar aja. Ada banyak budaya -rekruitmen loker yang perlu untuk direvisi, seperti halnya syarat dan pra-syaratnya. 

Misalnya saja, mungkin tak asing kita jumpai persyaratan loker mencantumkan “syarat minimal 25 tahun” atau “belum menikah”. Persyaratan semacam ini jelas hanya memperluas diskriminasi sosial, memangnya yang umurnya di atas 25 tahun tidak butuh makan? 

Kalau mereka dibatasi umur, kira-kira apa jaminan mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak supaya bisa makan, kan itu tidak ada jaminan. Selain itu, ada syarat belum menikah, ini juga tidak masuk akal sama sekali. Seandainya kalau kita bisa berpikir harusnya mereka ini lebih diprioritaskan karena mereka butuh penghasilan lebih untuk memberi makan kepada anak-anaknya, mereka juga memiliki tanggungan yang lebih. Bila kita bercermin di negara Jepang, syarat loker sudah dan belum menikah itu tidak terlalu dipersoalkan lho. 

Ada pula persyaratan loker harus “siap bekerja di bawah tekanan.” Syarat ini juga hanya mengindikasikan semata-mata ingin memperkaya perusahaan saja, memaksa para pekerjanya harus siap bekerja di bawah tekanan mental. Bukankah ini bertentangan dengan prinsip kerja yang mengatakan nyaman dalam bekerja. 

Selain itu, syarat loker yang paling menyebalkan adalah “punya pengalaman kerja minimal 1 atau 2 tahun” bagi fresh graduate. Ini menurut saya juga tidak berkeadilan sama sekali dan dampak diskriminasinya sangat dirasakan oleh fresh graduate

Apabila semua loker mensyaratkan harus punya pengalaman kerja baru bisa mendaftar, kira-kira mau cari pengalaman di mana? Tidak mungkin kan kalau pengalaman kerja hanya modal konten di YouTube maupun di TikTok saja. Jadi, syarat pengalaman kerja ini sama sekali tidak berkeadilan dan tidak berpihak kepada para pencari kerja. 

Selain dari syarat-syarat di atas, tentu masih banyak lagi syarat lain yang tak masuk akal dan makin menyebalkan saja. Budaya rekruitmen loker yang menerapkan syarat inilah yang patut untuk ditangisi, dicari jalan keluarnya, dan pemerintah tidak boleh buta melihat problem ini.         

2. UKT yang Semakin Tidak Masuk Akal  

Hal kedua yang patut juga kita tangisi ketimbang politisi, yakni mengenai UKT mahasiswa. Problem ini mungkin menjadi isu lama dan bahkan bisa dianggap sebagai hal lumrah dengan pasal kalau pendidikan itu memang mahal. 

Tapi maksud saya gini, kalau UKT mahasiswa itu makin mahal tanpa mempertimbangkan kondisi prekonomian orang tua mahasiswa jelas itu perlu dipertanyakan. Tidak semua prekonomian orang tua mahasiswa itu rata dan mampu membayar UKT. Lebih parahnya, apabila ada program beasiswa yang tidak tepat sasaran. 

Walau beasiswa itu peruntukannya untuk mahasiswa tidak mampu, tapi realitasnya tidak segampang itu di lapangan. Nyatanya mahasiswa yang dapat beasiswa itu adalah mereka yang juga mampu memanipulasi data administrasi. Jadi penting kiranya, pihak kampus benar-benar mengecek fakta di lapangan lebih teliti.

Belum lagi kalau banyak biaya-biaya lain di kampus, seperti keharusan membeli buku, uang praktek, membeli makanan untuk dosen penguji saat sidang skripsi, dan biaya lain yang tak sepantasnya dilakukan oleh kampus. 

Jadi, kondisi UKT mahasiswa ini yang lebih penting ditangisi daripada menangisi para politisi. Sebab jika mahasiswa tidak mampu membayar UKT, maka itu bisa memutus mata rantai masa depan mahasiswa menjadi lebih baik. UKT kampus harus-harus benar-benar bisa dievaluasi dan keberpihakannya harus pada mahasiswa, yang bisa merangkul siapa saja, mencerdaskan mahasiswa, dan tidak terlalu memberatkan mahasiswa.         

Oleh sebab itu,  lebih baik untuk tidak terlalu berlebihan selama musim politik ini, apalagi menagisi para politisi. Pasalnya, dua hal yang disebutkan tadi itu jauh lebih penting untuk ditangisi dan dicarikan solusinya anak muda saat ini.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Budi Prathama