Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Foto Film Vina: Sebelum 7 Hari (IMDb)

Tampaknya, ada sentimen pada ‘Film Vina: Sebelum 7 Hari’, yang mana, nggak sedikit dari netizen menyayangkan peristiwa nyata (pembunuhan memilukan itu) harus difilmkan secepat ini. Begitulah, industri film memang seringkali menjadi panggung buat kisah nyata untuk tampil dan menyampaikan pesan-pesannya. 

Seperti halnya "Vina: Sebelum 7 Hari", yang benar-benar mengambil utuh serangkaian kisah nyata atas pembunuhan Vina ke medium film. Namun, keputusan untuk mengangkat peristiwa tragis itu menjadi sebuah film, nyatanya memecah opini orang-orang, satu di antara opini itu ialah bahwa pembuatan film ini dianggap nggak etis. 

Dan sebagai penikmat film, aku punya pandang pribadi. Begini, ya. Pada dasarnya membuat film berdasarkan peristiwa nyata yang belum lama terjadi bisa menjadi suatu bentuk penghormatan terhadap korban dan keluarganya. Dalam kasus ini, ‘Film Vina: Sebelum 7 Hari’ dapat menjadi sarana untuk mengingat dan memperingati korban, serta memperjuangkan keadilan yang belum benar-benar diperoleh si korban. Seandainya narasi visualnya kuat, film ini bisa saja membantu menyuarakan kebenaran yang mungkin belum terungkap sepenuhnya. (Semoga filmnya punya value yang bikin kisah nyata ini layak dibuat secepat ini)

Namun, di sisi lain, ada juga pertimbangan etis yang perlu dipikirkan. Ada risiko terkait pembuatan film semacam ini, yang bisa dianggap memanfaatkan tragedi untuk kepentingan finansial semata. Meskipun keluarga korban telah memberikan restu, masih ada penonton yang merasa nggak nyaman atau bahkan menolak untuk menyaksikan film tersebut karena terlalu dekat dengan peristiwa yang sebenarnya. 

Kalau dipikir-pikir, tentang batasan antara menghormati privasi dan menghargai kesedihan keluarga korban, itu penting banget! Terlepas pembuatan filmnya diniatkan untuk menghibur masyarakat (sinefil). Intinya, restu dari publik itu perlu, terlepas restu dari pihak keluarga sudah diperoleh. 

Sekarang pertanyaannya adalah: Apakah pembuatan film ini hanya dilakukan untuk cuan semata? Ini menjadi pertanyaan penting yang mungkin butuh kepekaan hati nurani untuk mengakuinya. Ya, tapi sebenarnya, banyak faktor bisa jadi pertimbangan dalam keputusan membuat film, termasuk motif produser, sutradara, dan penulis skenario. Meskipun profitabilitas adalah faktor yang nggak bisa diabaikan dalam industri film, tapi nggak jarang, juga ada motivasi yang lebih kuat, seperti misi untuk menyuarakan kebenaran kepada penonton.

Okelah kalau begitu. Berhubung film sudah dibuat, rasa-rasanya kita juga harus mengakui, bahwa pada dasarnya, film nggak selalu mewakili pandangan tunggal atau universal tentang suatu peristiwa. Setiap orang memiliki sudut pandang dan interpretasi yang berbeda-beda terhadap kisah yang sama. Oleh karena itu, meskipun ada penonton yang merasa nggak nyaman dengan pembuatan film ini, ada juga yang melihatnya sebagai peluang untuk mendalami peristiwa itu.

Pada akhirnya, keputusan untuk membuat film berdasarkan peristiwa nyata selalu memicu berbagai pertimbangan etis. Meskipun risikonya dianggap memanfaatkan tragedi untuk kepentingan komersial, tapi ada juga potensi untuk menyuarakan kebenaran yang belum terungkap. Jadi, dari sudut pandang manakah kamu menilainya? Ah, sebuah diskusi terbuka dan kritis tentang etika pembuatan film semacam ini sangatlah penting agar kita dapat memahami dampaknya secara lebih mendalam. 

Kamu sudah nonton? Semoga filmnya bagus dan sesuai ekspektasimu, ya. Kita lihat saja nanti, apakah filmnya hanya bermodalkan viral, atau memang digarap dengan serius. ‘Film Vina: Sebelum 7 Hari’ sedang tayang di bioskop-bioskop kesayanganmu. Selamat nonton, ya. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Athar Farha