Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ellyca Susetyo
Poster game show Clash of Champions (ruangguru)

Clash of Champions masih menjadi trending topik di hampir semua media sosial. Kumpulan mahasiswa cerdas dari berbagai universitas serta program studi ini memang menarik perhatian.

Prestasinya yang di atas rata-rata memang membuat banyak orang berdecak kagum. Namun ternyata, di balik kesuksesan program terbaru dari Ruangguru ini, tak sedikit yang justru nyinyir.

Mulai dari komentar yang merendahkan wanita, "ngapain pinter-pinter. Toh ujungnya ke dapur juga", hingga kalimat ejekan, "punya IP (indeks prestasi) tinggi belum tentu juga dapet kerja".

Kalimat-kalimat yang tidak seharusnya terucap ini menandakan masih lemahnya sisi kritis para penonton Indonesia. Sesuatu yang dikemas secara positif dengan harapan bisa menjadi motivasi dan inspirasi, jusru menjadi ajang kebencian.

Tak hanya itu, ada pula yang menganggap tontonan ini sebagai ajang pamer dari anak-anak yang berkesempatan berpendidikan tinggi pada anak yang tidak kuliah.

Bahkan, ada juga sebagian orang yang merasa kasihan karena anak-anak mereka sudah lelah belajar selama sepekan dan di akhir pekan masih harus menonton program edukasi.

Padahal, tujuan Clash of Champions tentu saja bukan itu. Melalui acara yang terinspirasi dari University War yang tayang di Korea ini, Ruangguru ingin agar anak-anak muda lebih semangat untuk mengejar prestasi.

Karena tidak ada salahnya menjadi pintar dan berilmu. Kelak pengetahuan ini tetap akan digunakan ketika dewasa saat mendidik dan membesarkan anak.

Ilmu-ilmu eksakta mungkin tidak diterapkan langsung dalam rumah tangga, tapi para siswa yang cerdas tentu lebih bisa berpikir kritis, memiliki analisa yang baik, tanggap, dan lebih mudah untuk mengambil sikap serta keputusan saat menghadapi konflik.

Sehingga salah bila masih ada yang berpikir kalau untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau belum tentu dapat kerja atau ujung-ujungnya ke dapur juga.

Setiap anak berhak dididik oleh orang tua yang cerdas dan tahu cara 'menjadi orang tua'. Untuk melamar pekerjaan saja kita berusaha sekolah sejak PAUD hingga S1, masa untuk membesarkan manusia kita tidak memiliki bekal ilmu yang mumpuni? Padahal mendidik anak jauh lebih sulit dibanding melamar pekerjaan itu sendiri.

Mental para penonton Indonesia memang masih menjadi PR besar yang harus dibenahi. Karena program ini bukanlah ajang pamer, melainkan seharusnya dipandang secara positif sebagai motivasi untuk bisa berpendidikan. Karena tidak semua peserta Clash of Champions berasal dari kalangan berada. Ada juga yang mengupayakan pendidikannya dengan jalur beasiswa.

Belum lagi masalah fans dadakan yang sangat meresahkan. Mereka melakukan hal toksik dengan meneror bahkan menguntit, yang tentu tidak membuat nyaman bagi para peserta Clash of Champions.

Bukannya belajar, tapi mereka justru melakukan hal yang merugikan orang lain.

Semoga mental penonton Indonesia bisa semakin sehat dan positif dalam menyikapi sesuatu. Karena sepositif apa pun programnya, semua akan sia-sia bila dipandang dari sisi berseberangan.

Ellyca Susetyo