Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi perempuan (Freepik/vectorjuice)

Pernikahan, yang sering kali digambarkan sebagai pelabuhan bahagia, bagi banyak orang justru menjadi lautan ketakutan. Bayang-bayang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menghantui, membuat institusi pernikahan terasa lebih menyeramkan daripada menjanjikan.

Trauma mendalam yang dialami para korban KDRT telah menanamkan benih keraguan yang dalam sehingga banyak perempuan enggan melangkah ke dunia pernikahan, takut akan nasib yang sama.

Dahulu, pernikahan dianggap sebagai tujuan akhir bagi setiap individu. Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan kekerasan dalam rumah tangga, pandangan masyarakat terhadap pernikahan pun berubah drastis.

Siklus kekerasan dalam rumah tangga yang berulang dan merusak telah menciptakan ketakutan yang mendalam di hati para korban. Pengalaman traumatis ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga memicu gangguan psikologis yang berkepanjangan.

Banyak orang, terutama perempuan, kini memandang pernikahan dengan penuh skeptisisme dan memilih untuk menjauhi pernikahan sebagai upaya untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan.

Belakangan, banyak postingan media sosial yang menyinggung persoalan pernikahan. Mulai dari pernikahan usia dini yang menjadi tren, masalah-masalah ekonomi rumah tangga, pertengkaran yang disebabkan oleh berbagai alasan, kasus perselingkuhan, perceraian, bahkan yang paling buruk adalah kasus KDRT.

Teknologi yang membawa informasi kilat ini benar-benar populer menjadi ajang curhat yang membuka sekat-sekat di balik tampilan luar pernikahan yang terlihat begitu bahagia, damai, menyenangkan, dan penuh sukacita.

Paparan terhadap kasus-kasus KDRT yang marak di media telah membuat banyak orang semakin sadar akan risiko yang mengintai dalam pernikahan.

Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan bahwa terdapat 15.432 kasus kekerasan di Indonesia yang terjadi sampai tahun 2024 ini.

Selain itu, di dalamnya terdata pula 13.408 kasus yang melibatkan perempuan sebagai korban yang sekitar 61,2% terjadi dalam rumah tangga. Angka ini tentu saja mengkhawatirkan dan menunjukkan bahwa masalah KDRT masih menjadi persoalan serius di negara kita.

Meskipun KDRT telah menjadi isu yang sering dibicarakan, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi dan tidak perlu dibesar-besarkan. Persepsi seperti ini sering kali membuat korban merasa malu dan enggan melaporkan kasus yang dialaminya.

Menilik kasus-kasus KDRT yang menjerat banyak perempuan atau sebagian kecil laki-laki belakangan yang menjadi sorotan, misalnya kasus Cut Intan Nabila, seorang selebgram dan mantan atlet anggar, menjadi sorotan publik setelah mengunggah video yang menunjukkan dirinya mengalami kekerasan fisik dari suaminya.

Dalam video yang beredar, terlihat jelas bagaimana suaminya melakukan tindakan kekerasan, seperti memukul dan menjambak. Tidak hanya KDRT, berdasarkan informasi korban, masih ada kasus perselingkuhan yang menjadi salah satu faktor pemicu kasus ini.

Barangkali tidak hanya Cut Intan Nabila, masih ada lipatan kasus kekerasan yang masih dibungkam rapat oleh korban karena ketakutan dan traumatis luar biasa, masih ada hukum yang belum mampu menjangkau mereka, masih ada masyarakat yang belum terbuka hati dan pikirannya untuk menuntaskan masalah ini.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada bekas fisik. Trauma mendalam yang dialami korban membuat mereka hidup dalam ketakutan yang berkelanjutan.

Bayang-bayang kekerasan terus menghantui, membuat mereka sulit untuk melupakan peristiwa traumatis tersebut. Kepercayaan diri yang hancur dan harga diri yang terinjak-injak membuat para korban merasa tidak berdaya dan sulit untuk membangun kembali hidup mereka.

Dampak psikologis KDRT tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan korban.

Ketakutan akan pengulangan kekerasan membuat mereka sulit untuk membangun hubungan yang sehat dan percaya pada orang lain. Kehilangan kepercayaan diri dan harga diri juga dapat menghambat mereka dalam mencapai tujuan hidup dan meraih kesuksesan.

Kekerasan dalam rumah tangga sering kali mengikuti pola siklus yang merusak. Siklus ini dimulai dengan fase ketegangan yang terus meningkat, diikuti dengan kekerasan fisik atau emosional.

Setelah kekerasan terjadi, pelaku biasanya akan meminta maaf dan berjanji untuk berubah, menciptakan fase bulan madu yang menjanjikan perubahan.

Namun, fase tenang ini hanya sementara, dan siklus kekerasan akan terulang kembali. Manipulasi yang dilakukan oleh pelaku, seperti menyalahkan korban atau mengancam akan menyakiti diri sendiri, semakin memperkuat perasaan terjebak pada korban.

Trauma psikologis yang dialami korban membuat mereka sulit untuk memutuskan hubungan yang penuh kekerasan, meskipun mereka sadar bahwa hubungan tersebut sangat merugikan.

Salah satu akar permasalahan KDRT adalah norma sosial yang masih melekat di masyarakat, yaitu pandangan bahwa laki-laki memiliki hak untuk mendominasi dan mengendalikan perempuan.

Norma patriarki ini telah tertanam dalam budaya selama berabad-abad dan memberikan legitimasi bagi pelaku kekerasan untuk bertindak.

Anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang wajar atau bahkan dianggap sebagai bentuk kasih sayang yang keliru, semakin memperparah masalah KDRT.

Ketimpangan gender yang masih terjadi di berbagai aspek kehidupan juga menjadi faktor pendorong terjadinya KDRT. Perempuan sering kali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Hal ini membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan, karena mereka sulit untuk melawan atau mencari bantuan. Ketimpangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi juga memperkuat ketidaksetaraan gender dan meningkatkan risiko terjadinya KDRT.

Masalah kesehatan mental, seperti gangguan kepribadian antisosial, gangguan bipolar, atau gangguan penggunaan zat, juga dapat menjadi faktor penyebab KDRT.

Pelaku dengan gangguan mental sering kali kesulitan mengendalikan emosi dan impulsif, sehingga mereka lebih mudah melakukan tindakan kekerasan. Selain itu, trauma masa lalu yang dialami pelaku juga dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan.

Tentunya tidak hanya itu, masih banyak akar masalah yang menjadi sebab musabab terjadinya mimpi buruk pasutri ini, yang juga tidak dimungkiri terjadi bahkan sebelum pernikahan terjadi.

Contohnya, perselingkuhan, masalah ekonomi, riwayat kekerasan dalam keluarga, perbedaan latar belakang budaya, dan stres berkepanjangan turut memperburuk situasi.

Semua faktor ini saling terkait dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, sehingga membuat korban merasa terjebak dan sulit untuk keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya berdampak buruk pada individu yang mengalaminya, tetapi juga melemahkan fondasi lembaga pernikahan. Kejadian KDRT yang sering terjadi telah menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pernikahan.

Banyak orang mulai memandang pernikahan sebagai hubungan yang tidak aman dan rentan terhadap kekerasan. Akibatnya, angka perceraian pun meningkat sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan untuk mengatasi trauma dan membangun kembali kepercayaan dalam hubungan.

Selain itu, KDRT juga mengubah pandangan masyarakat tentang pernikahan. Pernikahan yang ideal, yang dulu sering digambarkan sebagai hubungan yang penuh cinta dan harmoni, kini sering dikaitkan dengan kekerasan dan penderitaan. Hal ini membuat banyak orang menjadi lebih skeptis dan ragu untuk menikah.

Upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memerlukan pendekatan multisektoral. Pemerintah berperan penting dalam menciptakan kebijakan yang melindungi korban, seperti penegakan hukum yang tegas, penyediaan layanan hukum, dan tempat penampungan.

Masyarakat juga memiliki peran krusial dalam mengubah norma sosial yang membenarkan kekerasan. Pendidikan tentang gender dan kesetaraan sejak dini sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai positif pada generasi muda.

Selain itu, layanan dukungan bagi korban, seperti konseling psikologis dan bantuan hukum, perlu terus ditingkatkan. Dengan melibatkan berbagai pihak dan menerapkan strategi yang komprehensif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bebas dari kekerasan bagi semua orang.

Ada ide lain yang bisa dilakukan untuk mencoba mencegah atau mengatasi masalah ini meskipun tidak langsung bisa menurunkan persentase kasus, yaitu terapi hewan.

Terapi hewan telah muncul sebagai pendekatan alternatif yang menarik dalam upaya merehabilitasi pelaku kekerasan dan menunjukkan potensi besar dalam membantu individu mengatasi berbagai masalah psikologis, termasuk agresivitas dan kontrol emosi yang seringkali menjadi akar permasalahan dalam KDRT.

Interaksi dengan hewan peliharaan dapat memicu produksi hormon oksitosin yang terkait dengan perasaan bahagia, tenang, dan empati.

Penelitian menunjukkan bahwa terapi hewan dapat meningkatkan kemampuan pelaku untuk membentuk ikatan emosional yang sehat dan mengembangkan perilaku yang lebih prososial.

Namun, terapi hewan bukanlah solusi tunggal dan harus dikombinasikan dengan pendekatan terapi lainnya. Tantangan dalam penerapan terapi hewan ini meliputi keterbatasan akses, biaya yang relatif tinggi, dan perlunya pertimbangan etis terkait kesejahteraan hewan.

Meskipun demikian, potensi terapi hewan dalam membantu pelaku KDRT untuk berubah menjadi lebih baik tetap menarik untuk terus diteliti dan dikembangkan.

Pencegahan adalah kunci untuk mengatasi masalah KDRT. Dengan memberikan pendidikan tentang gender, membangun hubungan yang sehat, dan menciptakan lingkungan yang mendukung, kita dapat mencegah terjadinya kekerasan sebelum semuanya terlambat.

Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan mengakhiri KDRT. Mulai dari diri sendiri, kita dapat berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua orang.

KDRT adalah masalah kompleks yang akarnya tertanam dalam struktur sosial, budaya, dan psikologis. Tidak ada solusi instan untuk mengatasi masalah ini.

Namun, dengan terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat, memperbaiki sistem hukum, dan menyediakan layanan dukungan yang komprehensif, kita dapat perlahan-lahan mengurangi angka KDRT. Perjuangan melawan KDRT adalah perjuangan panjang, namun bukan perjuangan yang sia-sia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati