Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Tika Maya Sari
Ilustrasi karnaval berkostum monyet (Unsplash.com/JUNI)

Memasuki bulan Agustus, selain ada upacara peringatan Hari Kemerdekaan, biasanya diisi oleh berbagai acara di setiap wilayah. Acara tersebut bisa berupa perlombaan, acara panjat pinang, sampai pada karnaval keliling desa.

Zaman dulu, karnaval selalu menonjolkan tema tertentu seperti cerita rakyat, atau keseharian masyarakat. Peserta karnaval akan berdandan dengan karakter yang diperankan dan membawa atribut yang mendukung.

Semisal saja karakter Lutung dalam cerita rakyat yang berjudul Lutung Kasarung. Peserta biasanya akan memakai kostum monyet, dan meniru gerak gerik monyet, kemudian berjalan dalam kelompok tertentu. Nah, terkadang peserta akan usil dengan menakut-nakuti anak-anak kecil yang kebetulan ikut menonton.

Selain itu, terkadang ada juga arak-arakan hasil bumi, seperti jagung, sayur-mayur, singkong, dan lain sebagainya yang ditata menyerupai kerucut raksasa dan disebut 'tumpengan'.

Bahkan, ada iring-iringan kendaraan yang dimodifikasi dan dihiasi sedemikian rupa sehingga menambah kemeriahan karnaval, seperti sepeda hias, sepeda onthel, miniatur truck, dan lainnya.

Sedangkan saat ini, kebanyakan karnaval cenderung mengusung tema ‘Horeg’, yaitu adu mekanik suara sound system. Nggak jarang, hal ini merugikan warga sekitar karena selain mengganggu pendengaran, suara yang terlalu keras bisa memecahkan kaca rumah.

Meski warga berinisiatif untuk melekatkan lakban di kaca rumah, tapi karnaval jenis ini jelas mengganggu.

Belum lagi iring-iringan peserta yang malah berjoget ria dengan musik yang disetel. Hal ini jelas menggeser makna karnaval itu sendiri. Karnaval lantas berubah menjadi ajang pamer goyangan dan huru-hara, dan bukan lagi ajang unjuk kreativitas.

Bahkan di beberapa kasus, karnaval disusupi oleh peserta yang sempat menenggak miras, sehingga situasi tidak kondusif. Selain merusak citra karnaval itu sendiri, mereka juga membuat penonton ketakutan hingga menyingkir. Padahal, momen karnavalan yang hanya ada setahun sekali ini menguntungkan di berbagai sisi.

Dengan dihelatnya karnaval, para penjual snack dan minuman ketiban rezeki karena dagangannya laku, jasa MUA juga laris manis karena merias banyaknya peserta, serta para warga dan peserta karnaval mendapat hiburan gratis.

Bukankah sangat disayangkan kalau karnaval yang selalu ditunggu-tunggu hanya diisi dengan parade sound system saja? Para warga, termasuk saya sendiri sering gemas dengan suara menggelegar begitu, dan justru merasa bosan karena tidak ada keunikan lagi dan terkesan monoton.

Namun, kalau dari sisi bisnis sound system, hal ini juga menguntungkan. Sebab, brand mereka akan terkenal sehingga menaikkan jumlah followers online yang berimbas pada penjualan produk.

So, karnaval memang menguntungkan bagi mereka. Hanya saja, masyarakat yang telinganya sensitif harus dipaksa bersabar dan kaca-kaca rumah diharapkan untuk kuat serta tidak langsung pecah.

Jadi, gimana dengan karnaval di daerah kawan-kawan sekalian? Masih ada parade sound system juga nggak?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tika Maya Sari