Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
Ilustrasi mahasiswa tingkat tengah bersama junior dan seniornya [pexels/George Pak ]

Sebagai mahasiswa yang kini berada di tingkat tengah, saya mulai memahami berbagai dinamika yang terjadi dalam hubungan antara senior dan junior di kampus. Banyak dari kita seringkali mendengar keluhan mengenai senior yang dianggap otoriter dan galak, serta junior yang dipandang songong. Namun, saya percaya bahwa ada alasan yang lebih mendalam di balik pandangan tersebut, dan memahami hal ini mungkin bisa membantu mengatasi permasalahan yang ada.

Stereotip negatif tentang senior sering kali muncul dari perbedaan perspektif dan ekspektasi antara senior dan junior. Senior, yang sudah memiliki pengalaman lebih, mungkin merasa perlu menegakkan aturan dan memberikan arahan yang ketat untuk memastikan junior mengikuti standar akademik dan organisasi.

Sementara itu, junior yang baru memasuki dunia perkuliahan kadang merasa bahwa mereka belum mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka dan berpotensi menanggapinya dengan sikap yang terlihat sombong atau defensif. Ketegangan ini seringkali berakar dari perbedaan dalam pengalaman dan ekspektasi.

Ketegangan ini biasanya terjadi saat junior baru memasuki lingkungan kampus dan mulai berinteraksi dengan senior. Pada awalnya, junior mungkin merasa tertekan oleh ekspektasi tinggi yang diterapkan oleh senior, sementara senior merasa bahwa mereka perlu mempertahankan standar dan otoritas mereka untuk menjaga kualitas. Hal ini sering terjadi di awal semester atau saat kegiatan organisasi kampus yang melibatkan berbagai tingkatan mahasiswa, di mana ekspektasi dan tekanan terasa lebih jelas.

Dalam dinamika ini, baik senior maupun junior memiliki peran yang signifikan. Senior seringkali merasa bertanggung jawab untuk membimbing junior dan memastikan bahwa mereka memenuhi ekspektasi akademik serta keterlibatan organisasi. Sebaliknya, junior mungkin merasa tertekan atau kurang dihargai, terutama jika mereka merasa bahwa pendapat dan kontribusi mereka tidak diakui. Dengan memahami peran masing-masing, kedua belah pihak dapat bekerja sama untuk mengurangi ketegangan.

Dinamika hubungan antara senior dan junior ini paling sering terlihat dalam konteks organisasi kampus, kelompok studi, atau kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, dalam organisasi mahasiswa, senior mungkin bertindak sebagai pengurus atau mentor, sementara junior baru bergabung dan berusaha untuk beradaptasi. Ketegangan ini juga bisa muncul dalam kelompok studi di mana senior mengharapkan junior untuk mengikuti metodologi yang telah ditetapkan.

Memahami dinamika ini penting karena dapat membantu memfasilitasi komunikasi yang lebih baik antara senior dan junior. Dengan memahami alasan di balik sikap masing-masing pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan kolaboratif. Misalnya, senior yang lebih memahami tantangan yang dihadapi oleh junior dapat lebih bersikap empatik, sementara junior yang menyadari ekspektasi senior dapat berusaha untuk lebih beradaptasi dengan cara yang lebih konstruktif.

Untuk mengatasi permasalahan ini, penting bagi kedua belah pihak untuk terbuka dalam komunikasi dan bersedia untuk mendengarkan perspektif satu sama lain. Senior dapat mencoba untuk lebih memahami kesulitan yang dihadapi junior dan memberikan bimbingan dengan cara yang lebih mendukung.

Sementara itu, junior dapat berusaha untuk menunjukkan sikap hormat dan terbuka terhadap pengalaman senior. Dengan pendekatan yang lebih kolaboratif dan saling menghargai, ketegangan ini dapat diatasi dan hubungan antara senior dan junior dapat menjadi lebih harmonis.

Sebagai mahasiswa tingkat tengah, saya percaya bahwa dengan memahami akar permasalahan dan berusaha untuk membangun komunikasi yang lebih baik, kita semua dapat menciptakan lingkungan kampus yang lebih positif dan mendukung. Mari kita hadapi tantangan ini dengan sikap terbuka dan penuh pengertian untuk memastikan bahwa pengalaman perkuliahan kita menjadi lebih baik untuk semua pihak.

Sherly Azizah