Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | zahir zahir
Ilustrasi pelegalan berkas. (Unsplash/janice florence)

Beberapa hari terakhir, jagad dunia maya dihebohkan dengan keluhan banyak pihak mengenai sistem pembelian materai elektronik atau e-materai yang mengalami berbagai kendala. Bahkan, dilansir dari laman x.com pada Rabu (4/9/2024), permasalahan e-materai tersebut sempat menjadi trending topic selama seharian penuh.

Permasalahan e-materai ini sendiri terjadi saat server dari berbagai layanan penyedia jasa penjualan e-materai mengalami overload atau kelebihan muatan sehingga tak dapat diakses oleh sebagian masyarakat.

Terlebih lagi, hal ini bersamaan dengan tenggat waktu pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2024 yang akan ditutup pada tanggal 6 September 2024 nanti.

Sontak, hal ini menimbulkan banyak kepanikan dan banyak orang pulah yang mengeluarkan keluh kesahnya di media sosial seperti X, TikTok, maupun platform media lainnya.

Belum lagi kehabisan e-materai yang dikeluarkan oleh Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Indonesia) yang membuat banyak pihak tak mendapatkan materai elektronik tersebut meskipun telah melakukan pembayaran.

Carut-marut Pengadaan E-Materai Jadi Bukti Indonesia Tak Siap Dengan Digitalisasi

Kisruh dan permasalahan e-materai yang menjadi pembahasan selama 2 hari terakhir seakan-akan menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia belum siap dengan segala bentuk digitalisasi modern.

Kurang siapnya pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan antusiasme masyarakat dalam mengakses pembelian materai elektronik sepertinya kian membuka mata banyak pihak bahwa sejatinya negara ini tak siap dengan hal-hal yang serba digital di era modern.

Tentunya dari hal yang cukup lumrah ditemui seperti seringnya ditemukan praktik fotokopi KTP elektronik atau E-KTP juga menjadi salah satu wajah masyarakat dan lembaga di Indonesia yang tidak siap mengikuti perkembangan zaman yang serba digital.

Belum lagi banyaknya kasus pencurian data-data pribadi di dunia maya yang bebas diperjual-belikan juga menjadi salah satu bukti kurang siapnya pemerintah dalam menerapkan digitalisasi.

Tentunya banyak pihak yang masih ingat kasus pembobolan data dan situs negara (hacking) beberapa waktu lalu yang sempat menghebohkan negeri ini. Kasus tersebut menjadi salah satu contoh bagaimana lemahnya perlindungan dalam dunia digital di Indonesia.

Kini, kasus e-materai juga menjadi salah satu bukti bahwa negara Indonesia memang belum siap dalam mengikuti perkembangan zaman yang serba digital.

Lantas, apakah kita sebaiknya memang tak harus terburu-buru dalam mengikuti sesuatu yang serba digital dan kembali ke metode lama yang sudah cukup familiar bagi masyarakat?

Tentunya digitalisasi tersebut sejatinya bisa saja diterapkan di Indonesia. Namun, tentunya perlu kesabaran, persiapan, dan waktu yang lama agar semua orang bisa terbiasa dengan sistem yang sejatinya tak buruk tersebut jika dipersiapkan dengan matang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

zahir zahir