Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Ilustrasi Gibran Rakabuming Raka dan akun Fufufafa yang buat heboh media sosial. [Suara.com/Rohmat Haryadi]

Baru-baru ini beredar viral video lawas wawancara Gibran Rakabuming Raka dalam acara peresmian Pojok Baca yang diinisiasi mantan presenter acara dan jurnalis, Najwa Shihab.

Kala itu Mbak Nana, sapaannya, tengah bertanya soal seberapa sering Gibran membaca buku, termasuk kebiasaan yang lahir dari kedua orang tuanya, Joko Widodo dan Iriana.

Dengan jawaban yang jujur (jika bukan polos) putra pertama Presiden Joko Widodo itu mengatakan bahwa ia tidak suka membaca buku.

Ia melanjutkan pernyataan bahwa di keluarganya juga tidak ada semacam kebiasaan atau budaya membaca. Bacaan yang ia baca adalah komik dan artikel-artikel ringan. Tak pelak lagi, pernyataan itu langsung menyentil dan menyita perhatian warganet.

Di sisi lain, menyeruak pula kabar akun forum diskusi online terkenal beberapa tahun lalu, Kaskus bernama “fufufafa” yang diduga akun lawas milik wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.

Akun tersebut sangat problematik karena berisikan ujaran kebencian, kalimat-kalimat pelecehan serta bersembunyi dalam anonimitas sungguh membuat heboh dunia maya.

Jika berkaca dari pernyataan Gibran dengan isu akun fufufafa, rasanya sukar dibantah. Maka tak heran jika kegemaran membaca tidak membudaya atau tidak mengalir di keluarga mereka. Itu menjadi pembenaran bahwa di media sosial pun apa yang ditulis tampak seperti ”asbun” atau asal bunyi. Ini tentu bukan masalah sepele.

Pemimpin dan Literasi: Seorang Pembaca juga Penulis

Saya selalu sepakat dan meyakini bahwa membaca adalah sesuatu hal penting dan memiliki arti yang mendalam. Tidak hanya bagi orang-orang biasa, tetapi juga pemimpin.

Ada banyak manfaat membaca. Meski tidak mengharuskan gemar atau menjadi kutu buku, setidaknya ada buku-buku yang kita baca tentu memberikan pandangan baru.

Tidak melulu harus menggemari genre tertentu, namun membaca itu perlu. Membaca menjadi jendela dunia yang membuka pengetahuan dan wawasan seseorang.

Harry S. Truman, Presiden ke-33 Amerika Serikat (AS) pun pernah berujar bahwa “Not all readers are leaders, but all leaders are readers”. Artinya, tidak semua pembaca adalah pemimpin, tetapi semua pemimpin adalah pembaca.

Seturut itu ada pepatah lainnya yang mungkin lebih sering kita dengar: “You are, what you read”, Anda adalah apa yang anda baca.

Dengan demikian, bagi seorang pemimpin dan calon pemimpin, semestinya ialah juga pembaca yang baik dan tekun. Kebiasaan bacaan seseorang juga harapannya sejalan dengan kualitas mereka dalam hal memimpin.

Sejarah mencatat, para pendiri bangsa Indonesia di masa lampau juga merupakan pembaca dan penulis yang tekun. Sebutlah presiden Sukarno yang juga pembaca berbagai buku tentang ekonomi, budaya, agama, filsafat, ideologi, sosial, politik, sejarah hingga sastra.

Selain itu, Hatta, Sjahrir, dan tokoh lainnya juga tak ketinggalan adalah sosok yang giat membaca dan menulis. Dengan demikian, mereka memiliki wawasan dan pengetahuan luas yang menjadi modal dalam memikirkan kemajuan bangsa.

Sebagai pemimpin atau calon pemimpin rasanya perihal membaca bukan sekadar hal yang ideal atau berlebihan. Membaca—kemudian dibarengi dengan menulis layaknya hal melekat dalam intelektualitas seorang pemimpin.

Membaca laksana membangun empati pada rakyat atau orang-orang yang akan dibela. Keluasan wawasan dan kedalaman pengetahuan membantu pemimpin berpikir kritis, mencari solusi untuk melahirkan kebijakan relevan hingga modal mengambil keputusan penting.

Dalam membaca sastra misalnya, kita bisa menyelami dunia yang digambarkan penulis dengan mengikuti tokoh-tokohnya. Atau membaca buku biografi, kita bisa mengambil hikmah dan teladan dari tokoh yang menjadi inspirasi. Dari sinilah terbangun empati, mengolah panca indera kita untuk memahami hal-hal yang sedang dibahas dibuku.

Pemimpin dan calon pemimpin diharapkan memiliki kebijaksanaan karena memahami betul masalah yang dihadapi. Ketimbang sang pemimpin memilih blusukan dan membagikan benda-benda pada orang yang dijumpa. Semestinya pemimpin dan calon pemimpin berupaya memahami apa masalah dan bagaimana memecahkan penyelesaiannya.

Penutup: Akun Fufufafa dan Calon Pemimpin Minim Literasi 

Tidak terbayangkan wakil presiden kita yang akan datang jika benar diduga pemilik akun fufufafa yang problematik itu. Terlepas hal itu tidak ada yang tahu, pemimpin yang minim literasi (membaca, menulis, memahami dst) serta akun media sosial yang asal bunyi nir-etika menurut saya hal yang tidak disepelekan.

Artinya, ada isu darurat literasi dan etika di sini. Hal ini jelas akan menorehkan jejak digital buruk serta catatan memalukan bagi perjalanan bangsa. Ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak ada kata terlambat, akhir kata yang hendak saya garis bawahi untuk merespons sekaligus penutup kolom singkat ini: membacalah!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

hanifati radhia