Pemujaan selebriti atau celebrity worship bukanlah hal baru dalam budaya populer. Namun, di era digital yang serba terhubung ini, fenomena tersebut berkembang lebih kompleks, terutama dalam komunitas penggemar K-Pop di Twitter.
Sebuah studi terbaru oleh Kalimah, Khotimah, dan Widyatno (2024) dalam jurnal psikologi Motiva mengungkap bagaimana kesepian berperan besar dalam mendorong perilaku pemujaan selebriti di kalangan penggemar K-Pop.
Penelitian ini menemukan korelasi signifikan antara kesepian dan celebrity worship dengan nilai korelasi 0,353. Artinya, semakin kesepian seseorang, semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam pemujaan terhadap idola. Twitter, sebagai platform interaktif, semakin memperkuat keterikatan ini dengan memberikan ilusi kedekatan antara penggemar dan idola mereka.
Namun, di balik gegap gempita fanbase K-Pop yang tampak penuh gairah, ada kenyataan yang lebih dalam: bagi banyak penggemar, Twitter bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga ruang eksistensi. Mereka menemukan komunitas yang memahami, tempat di mana mereka bisa mengekspresikan diri, merasa dihargai, dan mengisi kekosongan emosional yang mungkin mereka alami dalam kehidupan nyata.
Fenomena ini juga erat kaitannya dengan hubungan parasosial di mana seseorang merasa memiliki koneksi emosional dengan idola, meski sebenarnya hubungan itu bersifat sepihak. Industri K-Pop dengan cerdik memanfaatkan keterikatan ini melalui strategi pemasaran yang menciptakan ilusi kedekatan, seperti unggahan konten personal, sesi live streaming, dan interaksi langsung di media sosial. Semua ini memperkuat rasa keterikatan penggemar terhadap idola mereka.
Tetapi, apakah ini sehat?
Pada satu sisi, komunitas penggemar bisa menjadi tempat berlindung dari kesepian. Namun, keterlibatan berlebihan justru bisa memperparah isolasi sosial. Ketika seseorang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia digital daripada membangun hubungan nyata, lingkaran kesepian semakin sulit diputus.
Lebih dari itu, dampaknya bisa meluas ke aspek ekonomi dan psikologis. Banyak penggemar rela menghabiskan uang dalam jumlah besar demi mendukung idola mereka, dari membeli album hingga berkontribusi dalam proyek-proyek fanbase. Beberapa bahkan mencapai titik di mana mereka lebih fokus pada kehidupan idola dibandingkan pertumbuhan pribadi mereka sendiri.
Pada level ekstrem, celebrity worship dapat berubah menjadi obsesi yang menghambat kesejahteraan emosional. Ketika penggemar terlalu bergantung pada idola untuk merasa bahagia atau kehilangan keseimbangan dalam hidup, ini bisa menjadi tanda peringatan.
Jadi, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?
Mencintai idola bukanlah hal yang salah banyak orang mendapatkan inspirasi, hiburan, bahkan motivasi dari figur publik. Namun, penting untuk menarik garis antara apresiasi yang sehat dan keterikatan yang berlebihan. Penggemar perlu menyadari bahwa dunia nyata tetap lebih penting daripada dunia digital, dan bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari hubungan dengan idola, tetapi juga dari hubungan sosial yang nyata.
Selain itu, literasi digital perlu diperkuat. Kita perlu memahami bagaimana media sosial dan industri hiburan bekerja dalam membentuk keterikatan emosional, agar kita bisa menikmati budaya populer tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri.
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, pemujaan selebriti mungkin tidak akan hilang dalam waktu dekat. Namun, dengan pendekatan yang lebih sadar dan bijaksana, fenomena ini bisa tetap menjadi bagian dari budaya populer yang positif tanpa mengorbankan kesejahteraan mental kita.
Baca Juga
-
Tergulung Doomscrolling, Ketika Layar Jadi Sumber Cemas
-
Tersesat di Usia Muda, Mengurai Krisis Makna di Tengah Quarter Life Crisis
-
Fame Cafe Jambi: Suasana Santai, Rasa Juara, Bikin Tak Mau Pulang
-
Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
-
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
Artikel Terkait
-
Jennifer Coppen Laporkan Haters, Kini Berujung Minta Maaf dan Akui Fans Fuji
-
Oknum Fans Fuji-Aisar Khaled Dipolisikan Jennifer Coppen, Inikah Sosoknya?
-
Antara Identitas dan Obsesi, Memahami Fanatisme K-pop di Indonesia
-
Remaja K-Pop, Antara Kecintaan dan Rasa Kesepian dalam Dunia Maya
-
Heboh Diet Ekstrem Idol K-Pop Saat Masa Promosi, Rei IVE Bongkar Makanan yang Dikonsumsi
Kolom
-
Menghidupkan Makna Pendidik Melalui Pengalaman Guru Gen Z Salah Berlabuh
-
Bintang Kebaikan di Hari Senin: Menyemai Karakter dengan Apresiasi
-
Lebih dari Sekadar Mengajar: Menjadi Teladan Hidup
-
Guru sebagai Agen Transfer Knowledge dan Transfer Value dalam Pendidikan
-
Ketika Penghargaan Jadi Alat Propaganda: Negara Harus Tahu Batasnya
Terkini
-
ARTJOG 2026 Angkat Tema Ars Longa: Generatio Dorong Seni Lintas Generasi
-
Bangkit dari Cedera, Jorji Melaju ke Final Kumamoto Masters 2025!
-
Lupakan Smartwatch Mahal! 7 Jam Tangan Pintar Terbaik di Bawah Rp 400 Ribu yang Bikin Gaya Maksimal
-
Adu Pintar Para Raksasa AI: Gemini vs. ChatGPT-4o, Siapa Juaranya?
-
Mengurai Masalah Islam Kontemporer Lewat Buku Karya Tohir Bawazir