Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rion Nofrianda
Ilustrasi kesepian (Pixabay)

Pemujaan selebriti atau celebrity worship bukanlah hal baru dalam budaya populer. Namun, di era digital yang serba terhubung ini, fenomena tersebut berkembang lebih kompleks, terutama dalam komunitas penggemar K-Pop di Twitter.

Sebuah studi terbaru oleh Kalimah, Khotimah, dan Widyatno (2024) dalam jurnal psikologi Motiva mengungkap bagaimana kesepian berperan besar dalam mendorong perilaku pemujaan selebriti di kalangan penggemar K-Pop.

Penelitian ini menemukan korelasi signifikan antara kesepian dan celebrity worship dengan nilai korelasi 0,353. Artinya, semakin kesepian seseorang, semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam pemujaan terhadap idola. Twitter, sebagai platform interaktif, semakin memperkuat keterikatan ini dengan memberikan ilusi kedekatan antara penggemar dan idola mereka.

Namun, di balik gegap gempita fanbase K-Pop yang tampak penuh gairah, ada kenyataan yang lebih dalam: bagi banyak penggemar, Twitter bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga ruang eksistensi. Mereka menemukan komunitas yang memahami, tempat di mana mereka bisa mengekspresikan diri, merasa dihargai, dan mengisi kekosongan emosional yang mungkin mereka alami dalam kehidupan nyata.

Fenomena ini juga erat kaitannya dengan hubungan parasosial di mana seseorang merasa memiliki koneksi emosional dengan idola, meski sebenarnya hubungan itu bersifat sepihak. Industri K-Pop dengan cerdik memanfaatkan keterikatan ini melalui strategi pemasaran yang menciptakan ilusi kedekatan, seperti unggahan konten personal, sesi live streaming, dan interaksi langsung di media sosial. Semua ini memperkuat rasa keterikatan penggemar terhadap idola mereka.

Tetapi, apakah ini sehat?

Pada satu sisi, komunitas penggemar bisa menjadi tempat berlindung dari kesepian. Namun, keterlibatan berlebihan justru bisa memperparah isolasi sosial. Ketika seseorang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia digital daripada membangun hubungan nyata, lingkaran kesepian semakin sulit diputus.

Lebih dari itu, dampaknya bisa meluas ke aspek ekonomi dan psikologis. Banyak penggemar rela menghabiskan uang dalam jumlah besar demi mendukung idola mereka, dari membeli album hingga berkontribusi dalam proyek-proyek fanbase. Beberapa bahkan mencapai titik di mana mereka lebih fokus pada kehidupan idola dibandingkan pertumbuhan pribadi mereka sendiri.

Pada level ekstrem, celebrity worship dapat berubah menjadi obsesi yang menghambat kesejahteraan emosional. Ketika penggemar terlalu bergantung pada idola untuk merasa bahagia atau kehilangan keseimbangan dalam hidup, ini bisa menjadi tanda peringatan.

Jadi, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?

Mencintai idola bukanlah hal yang salah banyak orang mendapatkan inspirasi, hiburan, bahkan motivasi dari figur publik. Namun, penting untuk menarik garis antara apresiasi yang sehat dan keterikatan yang berlebihan. Penggemar perlu menyadari bahwa dunia nyata tetap lebih penting daripada dunia digital, dan bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari hubungan dengan idola, tetapi juga dari hubungan sosial yang nyata.

Selain itu, literasi digital perlu diperkuat. Kita perlu memahami bagaimana media sosial dan industri hiburan bekerja dalam membentuk keterikatan emosional, agar kita bisa menikmati budaya populer tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri.

Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, pemujaan selebriti mungkin tidak akan hilang dalam waktu dekat. Namun, dengan pendekatan yang lebih sadar dan bijaksana, fenomena ini bisa tetap menjadi bagian dari budaya populer yang positif tanpa mengorbankan kesejahteraan mental kita.

Rion Nofrianda