Presiden Prabowo Subianto tampaknya ingin menunjukkan semangat kerja tinggi dengan langsung kembali beraktivitas selama libur Lebaran.
Sejak 6 April 2025, ia tampak aktif menghadiri berbagai pertemuan—mulai dari pemimpin redaksi, petani, hingga investor dalam agenda “Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden” di Menara Mandiri, Jakarta. Selama hampir lima jam, ia berdiskusi dengan para pengusaha besar, didampingi sejumlah menteri ekonomi Kabinet Merah Putih.
Dalam rangkaian pertemuan itu, Prabowo berulang kali menyuarakan diksi “Indonesia Cerah”. Prabowo bahkan secara eksplisit menegaskan bahwa ia tidak sependapat dengan narasi "Indonesia Gelap" yang ramai digaungkan publik belakangan ini.
Ia menyebut bahwa hoaks mudah tersebar, dan menyindir para tokoh yang terlalu pesimistis.
“Saya mau ketemulah sama siapa, mari kita bahas, mungkin tidak usah di publik, tokoh-tokoh yang Indonesia gelap. Kalau memang Indonesia gelap, mari kita kerja supaya Indonesia tidak gelap. Iya, kan?” ujarnya santai.
Namun, alih-alih menyambut dengan antusias, pernyataan ini justru memicu perdebatan luas di media sosial. Banyak warganet mempertanyakan, apakah Presiden benar-benar tahu seperti apa kondisi rakyat Indonesia saat ini?
Narasi “Indonesia cerah” terasa ganjil di tengah realitas yang dihadapi banyak masyarakat—harga bahan pokok melambung, pengangguran meningkat, upah minim sulit mencukupi kebutuhan, dan ketimpangan ekonomi yang makin terasa di berbagai penjuru negeri.
Wacana “optimisme” yang terus digaungkan presiden pun dianggap sebagian pihak terlalu mengawang dan minim aksi nyata. Tak sedikit warganet yang menyuarakan keresahan mereka, menilai bahwa pemerintah lebih sibuk membangun narasi daripada memperbaiki kenyataan.
Menyebut kekhawatiran publik sebagai bagian dari hoaks atau pesimisme semata justru memperlihatkan adanya ketimpangan persepsi antara pemerintah dan rakyatnya.
Terlebih, ajakan untuk berdiskusi secara tertutup—"tidak usah di publik"—menuai sorotan tajam. Transparansi adalah fondasi penting dari demokrasi.
Jika tokoh-tokoh kritis terhadap kondisi negara justru diajak berdiskusi secara tertutup, publik wajar bertanya-tanya: ada apa yang ingin disembunyikan? Apakah kritik harus dibungkam, atau diatur agar tak mengganggu citra?
Pakar komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, juga mengingatkan bahwa komunikasi yang efektif bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga mendengarkan.
Ia menyebut bahwa komunikasi harus berjalan dua arah, yakni dengan mendengarkan kritik publik dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi kebijakan. Ini akan menjadi kunci dalam menciptakan stabilitas dan kepercayaan publik.
Dan sejauh ini, masyarakat masih menilai pendekatan pemerintah terlalu fokus pada pencitraan dan kurang responsif terhadap suara rakyat yang justru semakin nyaring.
Pemerintah tidak bisa terus menerus meminta rakyat untuk positive thinking tanpa memberikan bukti nyata bahwa arah bangsa memang sedang dibenahi.
Tentu, tidak salah menjadi seorang pemimpin yang optimistis. Bangsa memang butuh harapan dan arah yang jelas. Namun, masalahnya, apakah harapan itu dilandasi oleh data dan kenyataan di lapangan, atau sekadar ilusi untuk menutupi kegagapan dalam menghadapi masalah?
Wacana “Indonesia cerah” yang diulang-ulang Prabowo memang terdengar penuh semangat. Tetapi tantangan sebenarnya bukan sekadar mengubah persepsi—melainkan membuktikan bahwa harapan itu nyata.
Optimisme tentu penting, tapi tak bisa berdiri sendiri. Ia harus berpijak pada kenyataan. Presiden boleh saja menegaskan bahwa Indonesia cerah, tapi ia juga harus siap untuk menanggapi ribuan rakyat yang tidak melihat sinar itu dalam hidup mereka.
Jika pemerintah hanya sibuk membangun citra tanpa mendengar jeritan warga yang kesulitan, "Indonesia Cerah" akan tetap menjadi mimpi di siang bolong.
Bagaimana menurut kamu: apakah narasi optimisme Presiden Prabowo sudah sejalan dengan realitas yang kamu alami sehari-hari? Atau jangan-jangan, 'cerah' yang dimaksud hanya untuk segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan tetap gigit jari?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
Artikel Terkait
-
Perampasan Aset Koruptor: Keadilan yang Tidak Boleh Dikompromikan
-
Demokrat Sebut Prabowo Pemimpin yang Dibutuhkan Saat Ini: Berani Akui Kekurangan
-
Sekolah Rakyat Belum Siap, Mendikdasmen: Bisa Mulai Agustus atau September
-
Dukung Kebijakan Prabowo Hapus Kuota Impor, Legislator PKS Kasih Catatan Ini
-
Prabowo Mau Naikkan Gaji Hakim, Pakar: Bukan Satu-satunya Cara Berantas Korupsi
Kolom
-
Dari Layar Lebar ke Layar Kecil! Transformasi Hiburan di Era Streaming
-
Nasib Buku Fisik di Tengah Gempuran Buku Digital: Punah atau Berevolusi?
-
Wabah Digital! Menelusuri Fenomena Konten Viral pada Budaya Populer
-
Adaptasi Novel Menjadi Film: Versi Baru atau Justru Kehilangan Makna?
-
Eksistensi Novel Populer: Ketika Karya Fiksi Menjadi Cerminan Kehidupan
Terkini
-
Usung Konsep Sporty, USPEER Resmi Debut Lewat Single Bertajuk 'Zoom'
-
5 Sistem Kekuatan Terbaik Sepanjang Sejarah Anime, Ada Favoritmu?
-
Maudy Ayunda 'Bulan, Bawa Aku Pulang': Persembahan untuk Ketenangan Batin
-
Buat Keputusan Sepihak Terkait Tuan Rumah, AFC Khianati 2 Aturan yang Mereka Buat Sendiri!
-
Review Film Fear Street - Prom Queen: Pembantaian Malam Pesta yang Melempem