Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom
Ilustrasi anak terkurung (pixabay.com/ibrahim62)

Pernahkah kita merasa ingin agar anak kita mampu melakukan segalanya? Ahli dalam matematika, bersikap sopan, mahir bermain piano, fasih berbahasa Inggris, percaya diri saat tampil, dan tentu saja, patuh tanpa mempertanyakan. Hal ini tampaknya seperti harapan umum bagi orang tua. Namun, banyak di antara kita tanpa sadar menjadikan anak sebagai "proyek ambisi" di mana tidak ada ruang untuk kegagalan.

Sebenarnya, anak bukanlah wadah kosong yang bisa kita isi sesuka hati. Mereka adalah individu kecil dengan keinginan dan batasan mereka sendiri. Sayangnya, tema ini jarang dibahas di media parenting yang biasanya lebih fokus pada tips cepat, seperti "5 Cara Agar Anak Suka Belajar" atau "Cara Efektif Mengatasi Tantrum pada Anak".

Dalam artikel ini, kita akan berbincang tentang bagaimana membesarkan anak tanpa terjebak dalam obsesi terhadap kesempurnaan. Kita juga akan mendalami pendapat para ahli yang dapat memicu kita untuk memikirkan kembali cara pandang kita terhadap anak.

1. Obsesi yang Terselubung

Begitu seorang anak lahir, banyak dari kita menyimpan harapan dalam hati. Ada yang menginginkan anaknya menjadi dokter karena cita-cita yang tidak tercapai. Ada pula yang berharap anaknya mencapai kesuksesan lebih dari apa yang kita miliki, bahkan menjadi versi yang lebih “baik” dari diri kita.

Dr. Shefali Tsabary, seorang psikolog klinis serta penulis buku The Conscious Parent, mengungkap bahwa banyak orang tua belum menyelesaikan masalah ego mereka sendiri. “Sering kali, orang tua memproyeksikan luka batin dan impian masa kecil mereka kepada anak-anak. Ini lebih mengenai diri kita yang belum sembuh daripada tentang anak itu sendiri,” ujar Shefali.

Tanpa disadari, kita mendaftarkan anak ke berbagai kursus, membandingkan mereka dengan anak-anak di sekitar, dan merasa kecewa saat mereka tidak memenuhi harapan kita. Kita seringkali lupa bahwa anak kita bukanlah robot atau miniatur yang diharapkan bisa memenuhi standar “anak sempurna”.

2. Ruang untuk Anak Bernafas

Coba ingat, kapan terakhir kali kita meluangkan waktu untuk duduk dan bertanya kepada anak: “Apa yang kamu suka? Apa yang membuat kamu merasa takut? Apa yang membuatmu bersemangat?”

Dr. Laura Markham, yang mendirikan Aha! Parenting, menjelaskan bahwa anak-anak memerlukan ruang untuk menjadi diri mereka sendiri. “Anak-anak perlu merasa diterima, bukan karena apa yang mereka capai, tetapi karena siapa diri mereka,” katanya.

Anak-anak yang mendapat tekanan untuk sempurna bisa mengalami ketidakamanan. Mereka belajar bahwa cinta itu bersyarat, hanya ada saat mereka berhasil atau memenuhi harapan orang tua. Padahal, cinta yang konsisten sangatlah penting, terutama saat anak mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan.

3. Perjalanan, Bukan Hasil Akhir

Ada satu ide menarik yang jarang dibahas dalam dunia parenting saat ini, yaitu: “membesarkan anak bukan tentang mencapai hasil akhir, tetapi mengenai mendampingi perjalanan. ”

Ide ini mirip dengan pandangan yang terdapat dalam buku “The Gardener and The Carpenter” oleh Alison Gopnik, seorang ahli perkembangan anak dari UC Berkeley. Menurut Gopnik, banyak orang tua kini berperan sebagai tukang kayu, berupaya membentuk anak menjadi sesuatu yang tertentu. Namun, seharusnya kita harus seperti tukang kebun, memberi perawatan, menyiram, mencukupi kebutuhan cahaya, namun membiarkan tanaman tumbuh dengan cara mereka sendiri.

Anak-anak bukanlah bahan mentah yang bisa dipahat menjadi bentuk tertentu. Mereka adalah makhluk hidup yang tumbuh dengan cara mereka sendiri,” ungkap Gopnik.

Dengan kata lain, kita bukanlah perancang masa depan anak. Peran kita adalah sebagai pendukung. Tugas kita bukan untuk menentukan apa yang anak inginkan, tetapi untuk membantu mereka menemukan siapa diri mereka.

Apa yang Dapat Kita Ubah?

Jadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua yang terkadang, masih memiliki ambisi?

1. Belajar untuk melepaskan

Tidak semua hal harus sesuai dengan keinginan kita. Anak yang gemar menggambar tetapi kurang suka pada matematika tidak berarti dia gagal. Mungkin saja dia adalah calon ilustrator yang luar biasa.

2. Mendengarkan tanpa menghakimi

Kadang-kadang, yang diinginkan anak hanyalah didengar, bukan dinasihati. Jika dia mengungkapkan rasa malas untuk pergi ke sekolah, cobalah untuk menanyakan alasannya. Mungkin dia sedang merasakan kecemasan, bukan hanya malas.

3. Menghargai perasaan mereka

Jangan cepat mengucapkan “Itu tidak penting” ketika anak menyatakan kesedihan. Perasaan mereka itu nyata, walaupun kita mungkin menganggapnya sepele.

4. Berani meminta maaf

Kita tidak selalu benar. Dan hal itu adalah wajar. Meminta maaf kepada anak ketika kita berbuat salah justru menunjukkan bahwa orang dewasa juga bisa belajar.

Anak yang Dibesarkan dengan Cinta Tanpa Syarat. Bayangkan jika anak kita dibesarkan dengan keyakinan bahwa mereka selalu dicintai, tidak peduli situasinya. Mereka mengerti bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, dan hidup bukanlah tentang menjadi yang terbaik, tetapi menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.

Itulah anak-anak yang berkembang secara emosional dengan baik. Hal ini jauh lebih bernilai dibandingkan posisi nomor satu atau piala dari perlombaan.

Menurut psikolog Carl Rogers, cinta tanpa syarat adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk perkembangan yang optimal. Ketika seorang anak merasa diterima apa adanya, mereka akan memiliki percaya diri yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh tekanan dari luar.

Mendidik anak bukanlah sebuah kompetisi. Anak bukanlah tugas yang harus diselesaikan dalam waktu 18 tahun. Mereka adalah individu yang sedang tumbuh, dengan segala tantangan, kesalahan, dan kekhasan yang mereka miliki.

Mari kita belajar perlahan untuk melepaskan harapan yang membuat berat. Karena mendidik anak bukanlah tentang menjadikan mereka sesuai keinginan kita, tetapi mendampingi mereka untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.

Dan mungkin, dalam perjalanan itu, kita juga bisa sembuh dari obsesi masa lalu yang ternyata bukan untuk mereka, tetapi untuk diri kita sendiri.

Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom