Ada momen ketika seorang pembaca buku sudah selesai membaca satu buku, tapi rasanya belum bisa benar-benar ditinggalkan.
Tokohnya masih mondar-mandir di kepala, kutipan-kutipannya masing terngiang-ngiang, dan suasana dunia yang diciptakan oleh buku itu seolah masih membekas di hati.
Inilah yang biasa disebut book hangover, semacam rasa hampa, kehilangan, atau keterikatan emosional yang tertinggal setelah menyelesaikan buku yang sangat berkesan dan menyentuh.
Bagi seorang pencinta buku, fenomena ini tentunya menjadi tanda bahwa buku yang telah ia selesai baca benar-benar berkesan secara emosional sehingga memberikan bekas yang mendalam.
Mungkin karena ceritanya yang sangat dekat dengan pengalaman pribadinya, atau karena gaya penulisan dan penggambaran dunia dalam cerita tersebut begitu kuat hingga membuat pembaca larut sepenuhnya.
Rasanya seperti ditinggal oleh sahabat yang selama beberapa hari atau bahkan minggu menemani tiap malam sebelum tidur atau pagi sebelum beraktivitas.
Menariknya fenomena book hangover bisa membawa dampak yang cukup signifikan pada kebiasaan membaca seseorang. Ada yang jadi sulit memulai buku baru karena standar emosionalnya masih terpaku pada bacaan yang sebelumnya.
Ada juga yang memilih untuk berhenti sejenak, memberikan waktu pada diri sendiri untuk memproses emosi dan berpamitan secara perlahan dari dunia buku sebelumnya.
Jika kita lihat dari sisi positifnya, hal ini menjadi bukti bahwa membaca bisa menjadi pengalaman yang sangat intim dan mendalam bagi sebagian orang.
Seperti halnya hubungan yang berakhir, book hangover pun perlu kita hadapi dengan cara yang lembut dan penuh penerimaan.
Tidak harus buru-buru melupakan cerita yang sudah usai, justru kita bisa belajar untuk menerima bahwa buku itu telah memberikan pelajaran dan pengalaman emosional yang tak tergantikan.
Mengatasi book hangover bukan berarti memaksa diri untuk segera move on, tapi memberi ruang bagi diri sendiri untuk mencerna, memaknai, dan mengambil hikmah dari kisah yang sudah dibaca.
Kita bisa menuliskan kesan dari buku tersebut, berdiskusi dengan teman pembaca lain, atau hanya sekadar menyimpan buku itu dengan rasa terima kasih.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan bagaimana pembaca membangun ikatan dengan tokoh atau alur cerita dalam buku yang telah dibacanya.
Saat seseorang merasa sangat cocok dengan satu tokoh, baik karena sifatnya, atau bisa jadi karena kisah hidupnya, maka untuk meninggalkan kisah itu bisa terasa seperti perpisahan.
Tak heran jika banyak pembaca buku khususnya novel yang setelah mengalami book hangover memilih untuk menuliskan ulasan, membuat konten, atau bahkan membaca ulang buku tersebut sebagai cara untuk tetap terhubung.
Mungkin tidak semua orang akan mengalami book hangover. Tapi bagi yang pernah, pasti tahu betapa dalamnya pengaruh sebuah buku yang kita baca.
Dan ketika itu terjadi, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memberi waktu pada diri sendiri. Karena setiap perpisahan tentu tidak mudah, perpisahan butuh proses yang panjang untuk akhirnya menuju pada tahap penerimaan. Termasuk perpisahan dengan sebuah buku yang sangat dicintai.
Menghargai buku yang berkesan bukan berarti terus-menerus terjebak dalam ceritanya. Sama seperti hubungan yang baik, kisah dalam buku pun bisa tetap hidup di dalam ingatan dan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita, tanpa harus membuat kita berhenti melangkah.
Justru, buku yang meninggalkan jejak dalam hati adalah buku yang berhasil menyentuh sisi kemanusiaan kita. Maka, tak perlu melupakan, cukup kenang, dan terus membaca.
Baca Juga
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
-
Novel The Boldest White: Mengajarkan Anak Menjadi Pemimpin Lewat Kebaikan
-
Ulasan Novel Serial Killer Games: Rencana Licik dalam Balutan Hiburan Sadis
-
Buku The Proudest Blue: Ketika Hijab Jadi Simbol Keberanian dan Identitas
-
Menurut Novel Baswedan, Korupsi Timah Rp300 Triliun Bukan Kerugian Negara
-
Ulasan Buku How to Die: Menyambut Kematian dari Segi Filsuf Romawi
Kolom
-
Pentingnya Sensitivitas Pejabat Publik di Tengah Kecemburuan Sosial
-
Menulis di Tengah Kebisingan Dunia Digital, Masihkah Bermakna?
-
Aksara Nusantara, Antara Digitalisasi dan Ancaman Kepunahan
-
TNI dan Batas Peran dalam Ranah Sipil: Dari Barak ke Timeline
-
Dear PSSI, Tolong Kembalikan Antuasiasme Kami pada Timnas Indonesia
Terkini
-
Jay Idzes Bawa Hoki, Kevin Diks Malah Bonyok: Rapor Kontras Bintang Timnas di Eropa Akhir Pekan Ini
-
Tips Interview Kerja untuk Gen Z dari Junar Asunyi, Auto Percaya Diri!
-
Generasi Rebahan, Jutawan Impian: Gen Z Ingin Kaya tapi Malas Kerja?
-
Ferry Irwandi Buka Suara: Lupakan Drama dengan TNI, Fokus Selamatkan Ratusan Demonstran
-
Dipinjamkan ke AS Trencin, Baiknya Marceng Belajar dari Perjalanan Calvin Verdonk