Banyak keluarga di Indonesia menempatkan anak pertama pada posisi yang penuh tanggung jawab, bahkan sejak usia dini. Mulai dari menjaga adik, membantu pekerjaan rumah, hingga ikut memikirkan masalah keluarga. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap wajar sebagai bentuk latihan kedewasaan. Namun, apakah normal jika peran tersebut berubah menjadi tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh orang tua?
Fenomena ini menarik untuk dibahas karena menunjukkan bagaimana pola asuh dan budaya dapat memengaruhi perkembangan psikologis anak pertama. Konsep ini dikenal dengan istilah parentification, yaitu kondisi ketika anak mengambil peran orang tua, baik secara emosional maupun praktis. Meskipun terkadang tampak positif karena melatih kemandirian, efek jangka panjangnya bisa berisiko terhadap kesehatan mental dan pembentukan identitas anak.
Apa Itu Parentification dan Mengapa Terjadi?
Parentification adalah kondisi ketika anak, terutama anak pertama, menjadi pengganti orang tua dalam beberapa tanggung jawab. Ini bisa berupa tugas praktis seperti merawat adik, menyiapkan makanan, hingga mengatur keuangan rumah tangga, atau peran emosional seperti menjadi tempat curhat orang tua. Fenomena ini biasanya muncul karena faktor tertentu, misalnya ekonomi keluarga yang sulit, orang tua sibuk bekerja, atau bahkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Di Indonesia, budaya kolektivisme memperkuat fenomena ini. Anak pertama sering disebut sebagai “tulang punggung” atau “contoh teladan” yang harus membantu orang tua tanpa banyak bertanya. Dalam beberapa kasus, anak sulung bahkan ikut mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan keluarga. Sayangnya, peran ini kerap diberikan tanpa mempertimbangkan usia atau kesiapan emosional anak, sehingga mereka dipaksa dewasa sebelum waktunya.
Dampak Psikologis: Antara Kekuatan dan Luka Batin
Sekilas, parentification terlihat positif karena anak pertama menjadi lebih mandiri, tangguh, dan peduli terhadap keluarga. Banyak yang akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan empatik. Tidak sedikit pula anak sulung yang sukses karena terbiasa menghadapi tantangan sejak kecil. Namun, di balik itu ada konsekuensi serius yang jarang dibicarakan.
Anak yang mengalami parentification sering kali merasa terbebani, kehilangan masa kanak-kanak, dan mengalami tekanan mental karena harus memikul peran yang bukan miliknya. Efek jangka panjangnya dapat berupa kesulitan menetapkan batasan dalam hubungan, rasa bersalah jika tidak bisa memenuhi ekspektasi, bahkan munculnya kecemasan dan depresi. Parentification juga membuat anak pertama cenderung mengabaikan kebutuhan diri demi orang lain, yang bisa berlanjut hingga dewasa dan memengaruhi hubungan sosial maupun romantis mereka.
Bagaimana Seharusnya Orang Tua Bersikap?
Fenomena ini tidak selalu buruk jika dikelola dengan benar. Mengajarkan tanggung jawab pada anak adalah hal baik, tetapi harus disesuaikan dengan usia dan kapasitas mereka. Orang tua sebaiknya tidak membebankan masalah rumah tangga yang kompleks atau menjadikan anak sebagai “teman curhat” untuk persoalan dewasa seperti keuangan atau konflik pernikahan. Ketika anak dijadikan sandaran emosional orang tua, itu bisa menciptakan tekanan yang tidak terlihat tetapi berdampak jangka panjang.
Sebaliknya, orang tua perlu memberikan dukungan emosional yang cukup dan mengakui bahwa anak juga butuh ruang untuk menjadi anak-anak. Memberikan apresiasi, mengurangi beban berlebihan, serta menjaga komunikasi yang sehat adalah langkah penting agar anak pertama tumbuh dalam lingkungan yang seimbang, bukan terjebak dalam peran orang tua kedua. Dengan begitu, anak tetap belajar bertanggung jawab tanpa harus kehilangan masa kecilnya.
Parentification adalah fenomena yang sering tidak disadari, tetapi berdampak besar pada perkembangan anak pertama. Dalam budaya kita, membantu orang tua adalah nilai positif, namun ketika tanggung jawab yang diberikan melampaui batas, hal itu bisa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental anak. Sudah saatnya kita memahami bahwa setiap anak berhak menikmati masa kecilnya tanpa harus memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang dewasa. Mengelola peran dengan proporsional bukan hanya melindungi anak, tetapi juga menciptakan hubungan keluarga yang lebih sehat.
Baca Juga
-
Blue Carbon: Harta Karun Tersembunyi di Pesisir Indonesia
-
Perundungan Tak Kasat Mata: Saat Covert Bullying Menghancurkan Tanpa Suara
-
Stigma di Tengah Krisis Iklim: Potret Ketidakadilan di Pesisir Demak
-
Silent Bystander: Mengungkap Akar Bullying dari Sisi yang Terabaikan
-
Beban Ganda dan Resiliensi: Kisah Perempuan Pesisir di Tengah Krisis Iklim
Artikel Terkait
-
Mpok Alpa Meninggal Dunia: Suami Lemas Dipapah, Anak Sulung Pingsan di Rumah Duka!
-
5 Momen Bahagia Adiba Khanza dan Egy Maulana Umumkan Kehamilan, Dari Simbol Hati hingga Tawa Lepas
-
Adiba Khanza Hamil Anak Egy Maulana Vikri, Ini Beda Reaksi Umi Pipik dan Abidzar
-
Aplikasi Kanna Project Management, Rahasia Sukses UMKM Digital
-
Gracie Abrams Utarakan Dilema Anak Sulung dalam Lirik That's So True
Kolom
-
Generasi 'Lemah' atau Generasi Sadar Batas? Wajah Baru Dunia Kerja
-
Banjir Ungkap Jejak Chainsaw, Sistem Pengawasan Hutan Masih Bolong
-
Blue Carbon: Harta Karun Tersembunyi di Pesisir Indonesia
-
Keluarga dan Pola Asuh Berkontribusi pada Perilaku Bullying, Benarkah?
-
Invisible Wound: Luka Psikologis Bullying yang Tak Terlihat tapi Berbahaya
Terkini
-
Dari Ferry Irwandi hingga Praz Teguh: Deretan Figur Publik yang Turun Tangan Bantu Korban Bencana
-
Dituding Bela Inara Rusli, Ini Tanggapan dr. Richard Soal Komentar Julid Netizen!
-
Iko Uwais Debut Sutradara: Tantang Stereotipe Orang Timur Lewat Film Timur
-
Antusiasme Tinggi Warnai Premiere Film Esok Tanpa Ibu di JAFF 2025
-
Rahasia Kulit Kenyal: Review 4 Moisturizer dengan Kandungan Hyaluronic Acid untuk Skin Barrier