Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi demo massa aksi. (AI Google)
Fauzah Hs

Bagi banyak orang Indonesia, Agustus adalah bulan paling meriah dalam kalender nasional. Dari lomba makan kerupuk, panjat pinang, sampai karnaval di jalanan, semua jadi simbol dari euforia kemerdekaan.

Tapi tahun ini, Agustus terasa berbeda. Bendera merah putih memang tetap berkibar, tapi di balik kibaran itu ada suara gaduh, demonstrasi di mana-mana, bentrokan di jalan, kabar duka yang mengisi linimasa.

Rasanya sangat sulit untuk bersuka cita, karena ada perasaan getir, apakah kita benar-benar merdeka, atau hanya sedang merayakan kemerdekaan yang setengah hati?

Coba perhatikan berita sepanjang Agustus. Demonstrasi mahasiswa dan buruh mewarnai banyak kota. Jalan-jalan besar berubah jadi panggung protes, dari Jakarta hingga Makassar, dari Bandung sampai Yogyakarta.

Aksi Massa di Simpang Lima Senen Jakarta Pusat. (Suara.com/Adit Rianto)

Media sosial penuh video aksi dan suara lantang, bahkan media internasional mulai menyoroti Indonesia, negara yang dulu dielu-elukan sebagai demokrasi terbesar di Asia Tenggara, kini sedang bergulat dengan krisis kepercayaan. Ironis sekali, di bulan kemerdekaan justru kita disuguhi kenyataan bahwa rakyat merasa belum merdeka di tanah sendiri.

Ada yang bilang, penjajahan hari ini tidak datang dengan kapal perang atau meriam, tapi dengan aturan-aturan yang menguntungkan segelintir orang. Kita bukan dijajah oleh bangsa asing, tapi oleh elite yang duduk nyaman di kursi kekuasaan, mengatur arah negeri seakan hanya permainan papan catur.

Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini terasa ringkih, lebih mirip formalitas lima tahunan daripada ruang untuk mendengar suara rakyat.

Agustus yang seharusnya jadi pesta, malah jadi pengingat betapa kita belum bebas dari ketidakadilan.

Kondisi ini menampar kesadaran kita semua, khususnya anak muda. Ironinya, ketika kita mulai bicara, suara itu kerap dianggap gaduh, dianggap ancaman ketertiban, lalu dipatahkan dengan gas air mata.

Lalu, kemerdekaan seperti apa yang sebenarnya kita rayakan setiap 17 Agustus? Apakah cukup dengan upacara bendera dan lomba tujuh belasan, sementara di luar pagar sekolah dan kantor kelurahan, rakyat harus terus melawan agar hak dasarnya tidak diinjak-injak? Atau kita mau mengakui bahwa “penjajahan” memang belum benar-benar hilang, hanya berganti wajah dan bahasa yang lebih halus?

Sejarah selalu mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak datang sebagai hadiah, melainkan hasil keberanian bersuara.

Sutan Sjahrir pernah berkata, “Perjuangan kita bukanlah perjuangan untuk memerdekakan diri dari penjajahan, tapi perjuangan untuk memerdekakan diri dari ketidakadilan.” Kata-kata itu terasa relevan sekali hari ini. Karena apa gunanya bendera berkibar tinggi, kalau rakyatnya tidak merasa dihargai dan justru merasa jadi korban di negerinya sendiri.

Sutan Sjahrir. (Wikipedia)

Mungkin inilah saatnya kita mendefinisikan ulang arti “merdeka.” Merdeka bukan hanya bebas dari penjajah asing, tapi juga bebas dari rasa takut, bebas dari represi, bebas dari ketidakadilan struktural.

Merdeka berarti berani bersuara tanpa khawatir dikriminalisasi, berani mengkritik tanpa dianggap musuh negara, berani menuntut agar hak rakyat lebih penting daripada kepentingan elite.

Kita sebagai anak muda punya peran penting di sini. Kita yang akrab dengan media sosial bisa menjadikannya ruang perlawanan baru. Kita bisa membuat narasi tandingan, membongkar manipulasi, menyuarakan keresahan yang mungkin tidak muncul di media arus utama.

Karena diam berarti memberi ruang pada penindasan untuk terus hidup, sementara suara, sekecil apa pun, bisa jadi percikan yang memantik api perubahan.

Agustus kali ini mengingatkan kita bahwa merdeka bukan sekadar tanggal di kalender, tapi perjuangan yang tidak pernah selesai. Perjuangan yang harus kita teruskan, meski bentuknya berbeda dengan para pejuang 1945. Mereka melawan penjajah dengan senjata, kita melawan penjajahan baru dengan suara, pikiran, dan keberanian untuk tidak apatis.

Dan mungkin, di tengah segala duka dan demonstrasi yang mewarnai bulan ini, kita perlu membuat janji baru pada diri sendiri, jangan biarkan kemerdekaan hanya jadi cerita masa lalu.

Mari kita hidupkan kembali arti merdeka dengan cara kita—bicara, melawan ketidakadilan, dan menolak diam. Karena kalau kita terus diam, siapa lagi yang akan menjaga merah putih tetap punya makna?