Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Ratna Nisrina
Ilustrasi suasana malam hari (Shiutterstock)

Malam itu, aku termenung dalam kerinduan yang mendalam. Terhadap dua sosok yang luar biasa menurutku. Tanpa  sadar air mata menetes dari netraku. Aku teringat sebuah kenangan yang mendalam, yang luar biasa membekas di ingatan dan hati.

Malam ini sangat dingin. Tak seperi malam-malam sebelumnya. Aku sadar ada yang berbeda atau mungkin hanya perasaanku saja. Entahlah, akupun tak paham. Tetapi apakah mungkin mala mini ada yang berbeda. Angin di malam ini meniupkan rasa yang berbeda. Sungguh terasa berbeda, perasaan diriku mala mini berbeda.

Entah bagaimana jadinya, tiba-tiba rasa rindu terasa malam ini. Sekelabat bayangan membayang di kedua netraku. Sosok yang selalu kuingat. Mungkin tak pernah terlupa. Sepasang tua renta yang sangat kusayangi Sepasang tua renta yang menyayangi aku sepanjang hidup mereka. Ingin kutuliskan suatu pesan untuk mereka. Entah akan sampai atau tidak.

Hai…

Apakah kalian senang di sana?

Pada burung-burung yang berterbangan

Kutitipkan salamku pada kalian

Tentang rindu yang mendalam dalam hati

Tentang cerita-ceritaku

Yang mungkin tak bisa kalian dengar

Tuhan…

Biarkanlah burung-burung itu

Hantarkan pesanku pada mereka

Yang sedang kau dekap dalam kedamaian

Tuhan…

Ijinkanlah mereka membaca pesan rindu yang kutitipkan

Pada burung-burung yang berterbangan

Dan kuharap….

Pesan ku kan sampai bersama rinduku yang mendalam...

Malam itu aku menunggu, termenung dalam diam. Menunggu balasan pesanku. Balasan yang mungkin tak tau akan terbalas atau tida. Hanya angan dan harap saja yang aku bisa.

Aku berjalan menyusuri jalanan malam dengan penuh rasa bekecamuk di dada. Mata memandang suasana malam yang entah tak sanggup kukatakan.

Suara itu, entah nyata atau tidak memanggil-manggil diriku. Mungkin hanya ilusi ata mungkin fatamorgana. Tetapi suara itu terasa nyata, terus memanggil-manggil namaku.

“Hei Nak, menolehlah…,” suara itu memanggilku.

Kutoleh dengan perlahan.

“Kalian…?,” tanpa terasa air mataku menetes.

“Apakah kalian nyata..?,” tanyaku

“Tentu saja, Tuhan telah memberikan izin untuk membaca pesanmu. Bukankah itu yang kau inginkan cucuku?,” balas mereka.

“Yah..tentu saja, itu yang ku inginkan,” kataku dalam hati.

“Apakah kalian baik-baik saja di sana?,” tanyaku kembali

“Tentu saja, kami sangat bahagia di sana. Tuhan selalu menepati janjinya,” balas mereka lagi.

“Janji apa?,” aku hanya bisa terus bertanya. Seakan tak mengerti apa yang mereka katakana.

“Haha…, kau lucu sekali Nak, tentu saja janji kepada orang-orang beriman. Janji untuk memberikan kebahagiaan yang tak terkira kepada kami. Ia selalu menepatinya,”jawab mereka lagi.

“Kalau begitu, berarti kalian tak pernah rindu padaku…,” balasku denga kecewa.

“Hei…, tentu saja kami rindu padamu. Kau cucu yang sangat kami sayangi sepanjang hidup kami. Tetapi bukankah rasa sayang dan rindu tak harus diumbar,” kata mereka. Masih sama seperti mereka yang dulu.

“Tetapi kita tak akan pernah bertemu lagi, bukankah kalian yang dihadapanku hanyalah ilusiku saja,” kataku.

“Cucuku.., asal kau tahu, rasa sayang dan rindumu itu bukan ilusi. Kami ada bukan karena ilusi. Kami di sini ingin membalas pesanmu. Kami ingin sampaikan satu hal yang sangat penting padamu Nak. Janganlah rasa rindumu itu membutakanmu terhadap dunia. Ingat, selagi kau masih ada waktu. Taatilah perintah Tuhan. Bukankah kau ingin kami bahagia, kalau iya lakukanlah…,” kata mereka.

“Tetapi rasa sedih dan rindu ini datang tiap saat,”jawabku.

“Kau bisa titipkan salam rindumu bersama doa mu. Sekali lagi ingat, jangan butakan dirimu dengan rasa rindumu pada kami. Kami ini juga ciptaan Tuhan dan memang harus kembali kepada Nya, jadi kembalikanlahh rasa rindumu kepada Tuhan yang telah mencipta dan mengembalikan kami. Sesungguhnya yang pantas kau rindukan adalah Tuhan yang sudah mencipta kau dan kami,” jelas mereka dengan penuh keyakinan.

Ucapan mereka membuatku tertohok, kerinduanku yang membabi buta membuatku benar-benar buta terhadap Tuhanku sendiri. Aku sadar akan hal itu. Termenung membisu.

“Apa engkau sudah mengerti, cucuku? Kalau sudah, kami akan pergi. Ingat, kau harus selalu taati perintah Tuhan dan rindukanlah Tuhan, karena Dialah yang pantas kau rindu,” jelas mereka.

“Yah…, aku mengerti, terima kasih telah datang padaku,”ucapku pada mereka.

“Terima kasihlah pada Tuhan, bukan kami. Karena atas izin-Nya lah kami dapat membalas pesanmu dan berbincang denganmu,” ucap mereka sembari menghilang dari hadapanku.

Aku kaget, kucari-cari mereka lagi. Tetapi segera kuingat, akan pesan mereka.

Tiba-tiba, dunia terasa berputar dan menggelap. Aku pun terbangun. Tanpa kusadari, ternyata peristiwa tadi hanyalah mimpi. Segera ku ambil minum di meja. Tak sengaja, ada kertas yang terletak di samping gelasku. Ku baca isi kertas itu, seketika hatiku menghangat. Aku sadar peristiwa tadi bukan sekedar mimpi, tetapi juga petunjuk dari yang maha kuasa. Petunjuk agar aku sembuh dari kebuataanku. Kebutaanku tehadap diri-Nya.

Nak…

Janganlah kau tutup matamu dari-Nya

Jangan butakan dirimu dengan nafsu

Waktumu masih berjalan

Dan sebelum waktu itu behenti

Sembuhkanlah matamu itu dari kebutaan

Dan bukalah lebar-lebar matamu…

Hanya untuk diri-Nya

Dari: orang tua yang selalu merindukanmu

Ratna Nisrina