Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Ratna Nisrina Puspitasari
Ilustrasi perpustakaan (DocPribadi/ratnanisrina)

Selama ini perpustakaan selalu dikenal sebagai tempat penyimpanan buku-buku. Segala jenis buku tersedia di perpustakaan. Buku yang tersedia berasal dari segala rumpun keilmuan. Mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Bahkan adapula buku yang sifatnya hiburan seperti komik dan buku cerita.

Umumnya, buku-buku yang ada di perpustakaan disusun di rak-rak atau etalase. Buku diatur secara rapi berdasarkarkan kode-kode tertentu. Tentu saja kode tersebut bukan hanya hiasan saja. Ada tujuan tertentu dari pengodean yang lazimnya ditempelkan pada sisi buku. Kode dibuat berdasarkan klasifikasi buku, pengarang, sampai dengan judul buku lalu kemudian disusun secara urut. Semua itu demi memudahkan pembaca untuk mencari buku yang diinginkan.

Kondisi di atas lumrah ditemukan pada perpustakaan yang sifatnya konvensional dan fisik. Artinya, pengunjung atau pembaca harus datang langsung ke perpustakaan untuk mencari buku. Pembaca harus memilih buku yang diinginkan secara langsung.

Berkeliling dari rak satu ke rak lain menemukan buku yang akan dibaca. Mungkin kegiatan tersebut biasa ditemui beberapa tahun yang lalu. Sebagian orang masih menyukai sensasi berkeliling perpustakaan dan nuansa yang ada di sana. Namun, beberapa tahun terakhir hal tersebut dianggap cukup merepotkan sebagian orang.

Di kondisi sekarang yang semua dituntut serba cepat, beberapa orang memilih cara yang lebih praktis untuk menikmati buku. Sebisa mungkin buku yang diinginkan dapat segera diperoleh tanpa harus dipusingkan dengan mencari di rak-rak perpustakaan. Jika perlu, pembaca tidak perlu berkunjung ke perpustakaan secara langsung untuk memperoleh buku yang diperlukan. Padahal, dengan model perpustakaan yang konvensional hal tersebut sulit dan hampir sulit dilakukan.

Pembaca yang menginginkan cara di atas tidak sedikit jumlahnya. Rata-rata tipe pembaca tersebut didominasi oleh pekerja dengan mobilitas kerja tinggi sehingga tidak punya waktu untuk sekadar berkunjung ke perpustakaan demi menikmati sebuah buku. Ada pula pembaca biasa yang ingin membaca buku tertentu namun kesulitan karena jarak tempuh ke perpustakaan yang jauh. 

Merespons kebutuhan pembaca dan perkembangan zaman, lalu dikembangkanlah perpustakaan digital. Perpustakaan ini sifatnya virtual, dapat diakses di mana dan kapan saja. Pembaca tidak perlu meluangkan waktu khusus untuk datang ke perpustakaan. Layanan perpustakaan cukup diakses dengan perangkat elektronik seperti komputer, laptop, maupun gawai. Tentu saja harus ada koneksi jaringan untuk menikmati layanan yang tersedia. 

Koneksi internet dimaksudkan untuk mengakses layanan perpustakaan yang sifatnya digital. Pembaca dari berbagai belahan dunia dapat menikmati layanan pepustakaan, baik yang sifatnya gratis maupun berbayar. Sambil duduk bersantai menikmati waktu luang, perpustakaan digital dapat dijelajahi secara leluasa. Bagi pembaca yang sulit meluangkan waktu, itu adalah kelebihan dan saya taruk tersendiri.

Di tengah gerusan perkembangan zaman, tranformasi perpustakaan sangat penting. Jangan sampai, karena keterbatasan jarak dan waktu, perpustakaan hanya menjadi gudang buku. Tidak terjamah oleh pembaca yang kesulitan karena dua hal tersebut. Beberapa pengelola perpustakaan agaknya tanggap dengan keadaan tersebut. 

Pengelola pepustakaan di Indonesia mulai men-digitalisasi perpustakaan yang dimiliki. Namun, sayangnya semangat tersebut harus diimbangi dengan standar mutu yang baik. Faktanya, baru 6,2 persen perpustakaan yang sudah terakreditasi pada tahun 2021 dari jumlah keseluruhan perpustakaan yang ada di Indonesia sebanyak 164.160. 

Rincian perpustakaan yang sudah terakreditasi menurut sumber yang dikutip dari perpusnas.go.id yaitu perpustakaan sekolah terakreditasi 8.288 perpustakaan, perpustakaan Perguruan Tinggi terakreditasi sebanyak 676 perpustakaan, perpustakaan umum terakreditasi sebanyak 1.105 perpustakaan dan perpustakaan khusus terakreditasi sebanyak 279 perpustakaan.

Kondisi tersebut masih belum ideal dan merata serta mempunyai kemungkinan untuk menghambat proses digitalisasi perpustakaan. Oleh karena itu, kondisi demikian harus segera dibenahi demi mewujudkan digitalisasi perpustakaan yang merata, khususnya di tataran perguruan tinggi dan sekolah sehingga dapat menjadi rujukan pelajar dalam mencari sumber bacaan.

Ratna Nisrina Puspitasari