Scroll untuk membaca artikel
Munirah | JUNAEDI
Ilustrasi orang menangis. (Shutterstock)

Ketika senja datang menjelang, mentari pun perlahan mulai tenggelam ke ufuk barat. Pemandangan langit pun berganti warna merah petang itu. Sayup-sayup terdengar azan maghrib di penghujung bulan Ramadhan.

Tak lama kemudian kumandang takbir, tahlil dan tahmid mulai bersahutan di balik corong speaker masjid dan mushalla pertanda malam itu adalah malam takbiran. Iya, malam itu adalah malam perayaan kemenangan seluruh umat islam di dunia yang biasa di sebut dengan Idulfitri.

Idulfitri kali ini, memang agak berbeda dengan Idulfitri sebelum-sebelumnya. Tidak seperti tahun lalu, Idulfitri tahun ini diperbolehkan untuk mengerjakan shalat Ied  dan boleh merayakan takbiran tetapi tetap berpedoman pada protokol kesehatan  yang berpedoman pada 5 M, yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.

Waktu terus melaju, kumandang takbir, tahlil dan tahmid semakin memenuhi ruang-ruang kosong di angkasa. Langit pun mulai tampak berseri menyambut datangnya Idulfitri. Bintang-bintang berkerlip memenuhi langit yang biru  menambah indahnya suasana malam itu.

Kuberhentikan diri, setelah sedari tadi memegang mikropon mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid di  mushalla Al Iman bersama pengurus takmir mushalla. Sambil istirahat dan mencari semilirnya angin di sekitaran  halaman luar mushalla Al Iman.

Aku iseng–iseng  jalan di gang kecil sebelah timur mushalla. Aku yang sedari tadi tidak melihat Melati, yang biasanya  rajin jama’ah di mushalla Al Iman. Semakin penasaran, aku lewat depan rumahnya yang kebetulan berjarak  beberapa langkah saja dari Mushalla.

Akan tetapi apakah  yang terjadi? Sampai persis di depan rumah , terdengar suara tangisan seorang gadis remaja. Betapa terkejutnya aku, setelah mendekati  rumah Melati ternyata suaranya semakin jelas. Iya, tangisan itu adalah milik Melati. Gadis remaja penyandang disabilitas, saat ini sudah yatim piatu pula.

Aku tak kuasa melihat kesedihan Melati, terus kulanjutkan langkahku menemui kakak laki-laki Melati, yang bernama Budi. Dari informasi Budilah, aku menjadi banyak tahu kenapa Melati sampai menangis di malam takbiran malam itu?

“Adik kula niku nangis merga boten saged tumbas rasukan enggal.”

“(Adik saya menangis karena tidak bisa membeli baju baju).”

“Kula njih boten kiyat numbasaken rasukan enggal, penghasilane kula namung pas-pasan. Kangge  dahar saben dintene mawon tasih kirang tangeh lamun kangge tumbas pakaian enggal.”

“(Saya juga tidak mampu untuk membelikan  baju lebaran, pendapatan saya hanya pas-pasan. Hanya untuk makan setiap hari saja terkadang masih kurang saya tidak bermimpi untuk bisa membeli baju baru).”

Mendengar  jawaban Budi, harap maklum. Budi seorang kepala keluarga, yang memiliki  satu orang isteri dan satu orang anak serta masih menanggung satu orang saudara perempuannya. Yaitu Melati.

Sementara Budi, hanya sebagai tukang becak. Terkadang seharian dari hasil jasa mengayuh becaknya hanya cukup untuk makan sekeluarga. Terkadang seharian dapat lumayan, sisanya di tabung untuk mengantisipasi siapa tahu ketika seharian penuh tidak mendapat orderan mengayuh sama sekali.

Di tengah gegap gempita euforia umat Islam merayakan kegembiraan Idulfitri, masih ada keluarga kita yang berada dalam kesedihan . Masih ada tangisan dari orang pinggiran seperti Melati. Ini realita kehidupan orang desa, tanpa rekayasa sosial tapi nyata.

Batinku bertanya-tanya, ”ini salah siapa? Ini dosa siapa? Kemana saja bantuan sosial untuk warga penyandang disabilitas, miskin, perempuan,  dari pemerintah yang bermacam-macam itu? Bagaimana peran bapak-bapak RT, bapak Dukuh ketika mendata warganya yang kurang mampu?” Sehingga masih ada warganya yang tercecer tidak mendapat bantuan apa-apa, tiba-tiba tak kuasa air mataku menetes di pipiku.

Aku tidak jadi meneruskan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid di mushalla, saat itu juga aku pulang ke rumah sambil membawa kesedihan yang mendalam. Sesampainya di rumah, aku langsung curhat kepada istriku, kuceritakan semua kejadian yang baru saja kualami malam itu dari A sampai Z.

Istriku pun tersengat mendengarkan ceritaku, tiba-tiba perasaan sebagai ibu dan perempuan pun begitu menggelora dan akhirnya tak kuasa membendung tekanan air matanya sampai menetes di pipinya.

Malam itu juga, aku dan istriku membulatkan niat  untuk membawa Melati ke toko baju dekat pasar Bantul. Setelah muter – muter ke beberapa toko baju, akhirnya ada juga baju yang disukai oleh Melati dan ukurannya cocok.

Setelah billnya di bayar oleh istriku, kita bertiga pulang dengan hati yang gembira. Dengan membonceng dibelakang istriku, rona-rona keceriaan sudah hadir kembali di wajah Melati.  Aku tancap gas pelan-pelan sepeda motorku tepat dibelakang sepeda motor istriku dengan perasaan lega.

Malam itu, perutku mulai terasa keroncongan. Akhirnya kita bertiga mampir di warung bakso pinggir jalan di  Jalan Bantul . Seperti sedang memanjakan Melati, kita berdua berusaha memberikan pelayan prima kepada Melati.

Apa pun yang diorder Melati kita turuti. Setelah semua orderan kami dilayani, malam itu kita bertiga makan dengan nikmatnya. Padahal menunya sederhana saja hanya bakso dan mie ayam saja serta es jeruk dan es teh manis. Tetapi suasana hati kita bertiga moodnya lagi baik.

Selesai makan bakso, kita bertiga pulang ke rumah. Kumandang takbir, tahlil dan tahmid  yang terdengar dari sudut-sudut corong speaker masjid dan mushalla yang kita lewati serasa menambah  kesyahduan  perasaan hatiku malam itu.

Luar biasa, indahnya berbagi dengan salah satu kaum disabilitas, kaum miskin dan kaum perempuan. Sesampainya di rumah, ada kegembiraan tersendiri  bagiku, istriku dan Melati. Melati pulang ke rumah dengan langkah tegap dengan membawa sebuah harapan besok bisa shalat Idulfitri dengan mengenakan baju barunya.

Malam takbir waktu itu, sungguh menjadi pengalaman hidup yang tidak dapat kulupakan selama hidupku. Setelah Melati pulang ke rumah, Aku tak kuasa menahan rasa kantuk ini. Begitu juga dengan istriku, dia pun langsung menuju tempat tidur. Kita berdua, bisa tidur dengan nyenyak di malam takbiran waktu itu. Bangun-bangun sudah azan subuh.

Keesokan harinya, kami sekeluarga mengerjakan Shalat Ied di mushalla Al Iman. Dari kejauhan aku melihat Melati bergabung dengan teman sebayanya seraya memakai baju barunya.

Tidak lama kemudian Shalat Ied pun segera dilaksanakan. Selesai sholat Ied dilanjutkan dengan Khutbah Idulfitri. Begitu rampung pembacaan Khutbah shalat Ied oleh Khatib, acara diteruskan dengan syawalan atau halal bi halal. Karena masih dalam suasana pandemi Covid-19 maka acara syawalan hanya ritus membacakan ikrar syawalan oleh perwakilan pemuda, perwakilan ibu–ibu dan diterima oleh perwakilan bapak–bapak.

Ketika acara syawalan selesai, tiba–tiba aku dikejutkan oleh tangisan gadis remaja yang mencium tanganku, dan mengucapkan,

“Sugeng riyadi, mohon maaf lahir dan batin, njih Pak.”

“(Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, ya Pak).”
Terus  reflek kujawab,

“Njih dawah sami–sami, semanten ugi kula njih nyuwun pangapunten lahir bathos.”  

“(Iya, sama–sama, saya juga mohon maaf lahir dan batin).”

Setelah saya lihat dengan seksama ternyata Melati yang ada di depanku. Kali ini Melati menangis tetapi menangis karena bahagia. Berbeda dengan tangisan di malam takbiran, tangisan karena kesedihan.

JUNAEDI, S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).

JUNAEDI