Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | ahmaddahri
Jam 7

Jam 7

Setiap pagi ku purih jagung dan padi

Tergelar di piring berjajar bayam dan gubis yang meraya

Asap mengepul di ujung secangkir kopi

Kayu meriah panas terbakar di lubang dapur

Tertindih kendil dan wajan yang tergelepar ikan asin di dalamnya

Jam tujuh, kata adikku

Sudah waktunya menyumpal telinga

Banyak cerita terjual murah

Ludah tertelan dan kadang memuntahkan belati

Yang menghujat tajam menusuk sepi

Jam tujuh kata adikku

Tergelar di piring berjajar bayam dan gubis yang meraya

bersama cerita yang terjual murah.

Di balik sore terisak sendu

Wajahnya lesu, menatap tanah kelabu

Kian redup bersama sepotong bambu

Tangan mengepal memegang jari

Kadang pula mengusap rinai di lubang bambu

Di kedai, jari-jari menari

Merayu membelai lembar demi lembar kertas putih

Dalam anggapannya cahaya menyinari

Dalam dirinya diri menemani

Bersikap senyampang rindu berselimut kabut raya

Yang menunggu hujan memenuhi savana

Di kedai, jari-jari menari

Melambaikan jarak yang meluas bersama ranum

Dalam pekat kelabu diri

Sekarang angin sudah tak menyapaku, sepi rasanya

tidak ada hembusan-hembusan mesra disini, kulihat bunga-bunga dibawah telundak-telundak depan teras itu hanya tertunduk seakan merenungi nasibnya,

Langitpun  sudah mulai menyenja bersama dengan kicauan burung-burung kutilang yang memanja,

Tak berdaya rasanya berbisik dalam diam merenungi kehampaan

Hampa yang pernah berisi kemeriahan namun seketika hilang karena teguran ketidak bijaksanaan

Memandang sebelah mata pada kelebihan, menjungjung tinggi pada kekurangan,

Pohon-pohon besar itu serasa memakiku,

Tak terima akan kecanggunganku lantaran ucapanmu

Ucapan yang bagiku hanya bualan-bualan

Sekarang angin sudah tak menyapaku,

Dia rupanya berlalu bersama kenangan-kenangan yang terekam jelas bersama lalu-lalang lamunan yang membosankan.

Malang, 2017-2018

ahmaddahri

Tag