Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | ahmaddahri
Ilustrasi jalan (Pixabay)

Semerbak wangi mawar mengisi ruang yang legang, memenuhi hidung yang jarang, lalulalangnya senyap, geraknya pun semilir angin yang senyap. Air raksa memenuhi lantai penuh warna, warna dari kesendirian, ego yang semakin kencang. 

Di ruas jalan, lalu lalang tangis, mengais kesedihan, membuang kebahagiaan, menyiksa kering kerontang. Di seutas tali terselip janji, janji untuk pergi, pergi mengusir sedih, mengusir riuh penuh sesak. Mawar merah layu, bahkan sebelum tumbuh.

Awan mengikiskan gerimis, membasahi wajah menutupi tangis, menyamarkan sedih yang kian menepi, menjemput wajah-wajah yang sedang tertawa, memandang lain yang terjerambab dan terjatuh, jatuh di antara senyuman, jatuh di antara tipu muslihat dan janji-janji.

Anggukan ritmisnya menyudutkan ragam kepala, kepala yang mengganjal kebutuhan keluarga, keluarga yang pastinya tak berhenti makan, tiap hari makan, dan butuh uang. Lalu lalang angan menyetubuhi legam-legamnya kesendirian, kesendirian yang diam-diam menyapa dari kejauhan. Jangan lupa, kepastiannya hanya kematian.

Dari kejauhan, engkau memutuskan segala rantai pertalian, tiada lagi yang takut pada tuhan, mereka khawatir kelaparan, mawar layu sebelum berkembang, kembang mati sebelum tumbuh, tumbuh lalu pergi. Pergi menyusuri lautan, lautan yang tiada tepian, tepian yang tiada ucapan, pandangan dan haluan.

Karena angin semakin kencang,

Dari kejauhan,

Dari kejauhan,

Kupandang lambaian tangan yang kian menyerahkan dirinya, pada waktu untuk menatapnya.

2021

ahmaddahri

Tag