Aku tak punya kawan.
Aku tak berdaya dan terbuang ke mana-mana.
Aku memiliki bau' yang membuat orang menghindari aku.
Aku dicaci dan dimaki.
Aku hina di mata manusia-manusia penghuni bumi. Aku pun sering diinjak-injak.
Bahkan, aku ingin dimusnahkan dan dilenyapkan.
Aku dibakar dan didaur ulang.
Aku tak punya tempat menenangkan diri.
Aku tergeletak di pinggir jalan dan di pinggir sungai.
Aku ingin juga bicara dan menuntut keadilan.
Tentu aku tak menginginkan kehadiranku dalam keadaan hina dan meresahkan.
Aku dilahirkan bukan karena keinginanku sendiri.
Aku terlantar juga karena aku tak diperhatikan.
Hai, para manusia penghuni bumi!
Sadarkah kalian akan perbuatanmu.
Aku terlantar di pinggir jalan karena terbuang olehmu, walaupun ada tempat khususku.
Aku di pinggiran sungai juga karena kau telah dibuang aku kesana.
Bahkan, aku dapat menjadi akibat datangnya bencana karena tak mampu lagi menahan sakit tinggal di pinggiran sungai.
Kenapa selalu aku yang harus salah?
Banjir, longsor dan penyakit, juga aku yang disalahkan.
Aku ada karena manusia-manusia bejat tak memperhatikan aku.
Aku bahkan dianggap remeh sehingga terbuang ke mana saja.
Ya, mungkin karena aku hanyalah sampah.
Yang tak ada guna dan nilai.
Padahal, mestinya perbuatan manusia yang bejatlah mesti diadili.
Majene, 24 Juli 2021
Baca Juga
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
-
Ketika Pendidikan Kehilangan Hatinya: Sebuah Refleksi Kritis
Artikel Terkait
Sastra
Terkini
-
CERPEN: Catatan Krisis Demokrasi Negeri Konoha di Meja Kantin
-
Terbukti! 5 Sebab Home Fatigue Akibat WFH Tanpa Batas di Era Digital
-
Review Novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Potret Realistis Kehidupan Mahasiswa Indonesia
-
Ini 3 Top Skill yang Dicari HR Kalau Kamu Mau Mulai Karir Kerja Remote
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan