Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Buku Mencari yang Mustahil (Koleksi Pribadi/Wahid Kurniawan)

Apa topik yang kerap kita dapati dalam puisi-puisi? Jamak, kita dapati bahwa cinta menjadi topik yang tidak absen diambil oleh seorang penyair. Itulah mengapa, puisi menjadi medan yang kerap dijejaki penulis ketika berbicara tentang cinta. Sifatnya yang memancing banyak intepretasi membuat puisi seolah bisa dengan menawan mencitrakan keagungan perasaan cinta seseorang.

Selalu ada yang bisa dikatakan bila mencangkut cinta, tentang perjumpaan, pertemuan, kebersamaan, mimpi masa depan, perpisahan, bahkan kesedihan. Cinta menjadi muasal kebahagiaan, tetapi juga menjadi muara bagi kesedihan. Cinta mencitrakan dirinya ke berbagai hal, peristiwa, dan momen-momen, dan itulah yang hendak ditangkap oleh Faruq Juwaidah. 

Penyair yang berdiri di barisan penyair Arab Kontemporer ini menghidupkan ihwal cinta di dalam ketiga puluh lima puisi yang terhimpun dalam buku bertajuk Mencari yang Mustahil (Divapress, 2022) ini. Namun, kalau kita ingin memberi garis besar, sepertinya topik cinta yang banyak mendominasi citra dari puisi-puisi yang ditulisnya.

Cinta bagi seorang Faruq adalah hal yang mustahil, apabila kita hendak mencari kesempurnaan dari berbagai sisi di dalamnya. Untuk itulah, ia menulis satu puisi berjudul Mencari yang Mustahil. Puisi ini berdiri sebagai barisan dialog vertikal antara dua belah sisi: Qalat (perempuan itu berkata) dan Qultu (aku berkata). Dari sisi Qalat, Faruq menampilkan figur imajiner yang berdialog dengan Qultu terkait eksistensi manusia yang bisa sedemikian menyerahkan diri apabila berbicara mengenai cinta. 

Cinta adalah sesuatu yang dicari, terus menerus. Seperti yang terpetik, “Aku mencari cinta yang tidak pernah mati ketika segala sesuatu mati. Aku mencari kesetiaan yang abadi ketika segala sesuatu sirna. Aku mencari perjumpaan yang tak akan pernah terputus ketika semua pertemuan berakhir (halaman 81).”

Kita bisa melihat, ada kemustahilan di ketiga baris kalimat itu, sebab ketiganya mengandung sesuatu yang sangat sulit dicapai atau ditemui. Namun, itulah yang dipercayai Qultu sebagai manifestasi dari seorang yang begitu mendambakan cinta sejati. Kepercayaan itu tetap ada kendati, kalau kita menilik lagi baris kalimat Qalat, yang menunjukkan kalau apa yang dicari tidak, atau dalam kalimat Qalat disebut, “Kau mencari yang mustahil.” Dan walaupun dianggap mustahil, tetapi bagi Qultu, hal itu tetap dianggap ada, sebab ia menjadi bagian dari ironi yang ia rasakan. 

Citra puisi itu tampak muram, sebab ia menampilkan keadaan saat seseorang jatuh sedemikian jatuh dalam keadaan jatuh cinta, tanpa memperdulikan keadaannya mungkin terpandang muskil di mata orang lain. Namun, sekali lagi, itulah yang digerakkan oleh cinta. Warna lainnya, bisa kita dapatkan dari puisi-puisi Faruq yang lain. Seperti misalnya dalam puisi pembuka buku ini, yaitu Tangis Kata-Kata.

Dalam puisi ini, Faquq membagi sejumlah kalimatnya dalam paragraf narasi dan dialog vertikal, keduanya menjadi cara bagi suara tunggal (penulis), dan suara dari luar (Qalat). Dinarasikan, puisi ini membingkai kisah perjumpaan seorang mantan kekasih setelah lama terpisah. Mereka kemudian tiba pada dialog saling tukar kabar dan juga membagi kenangan masing-masing, terutama yang berkaitan dengan cinta. 

Momen itulah yang digambarkan sebagai tangis kata-kata, sebab ada yang terluap dari perasaan menahun terpisahkan, ada yang ingin diutarakan dari periode lama tidak bertemu. Kata-kata lantas mencitrakan tangis batin, tangis dari momen perpisahan yang lampau tetapi mesti dikenang lagi. Maka begitulah, Faruq banyak berbicara mengenai cinta dan pretelan dari berbagi sisi. Dalam bukunya ini, Faruq seolah menegaskan bahwa ihwal cinta, tidak ada yang selesai dibicarakan dan dipuisikan, cinta seperti yang diharapkan menjadi abadi. Itulah cinta dalam puisi Faruq: entitas yang selalu menolak mati. 

Wahid Kurniawan