Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Wahid Kurniawan
Kumpulan cerita pendek "Orang-orangan Sawah." (DocPribadi/Wahid)

Ada satu cerita dalam buku seorang penulis klasik China, Yeh Shentao, Orang-orangan Sawah (Gading Publishing, 2021) yang menarik perhatian saya. Kendati berlabel cerita anak pada sampul bukunya, saya mendapati ada banyak dari cerita di dalam buku itu justru menunjukkan sesuatu yang besar, ada pesan khusus yang tersembunyi di dalamnya. Hal itulah yang membuat saya tertarik akan satu cerita, yaitu yang berjudul “Patung Batu Pahlawan Kuno.” 

Cerita itu berkisah mengenai seorang pematung yang membuat patung besar sosok pahlawan kuno di kota. Ia berjuang mati-matian demi mewujudkan tujuannya itu, ia membaca sebanyak mungkin buku supaya mendapat gambaran paling mirip dari sosok pahlawan, lalu membuat sketsa-sketsa yang terus diperbaharui, mengambil batu besar paling kuat dari gunung, sampai memahatnya dengan ketekunan yang luar biasa. Perjuangan si pamahat lantas terbayar, jadilah sebuah patung batu besar yang gagah, dengan gambaran yang menyerupai sosok sang pahlawan, berdiri di alun-alun tengah kota.

Atas kesuksesannya itu, pesta besar-besaran pun diselenggarakan untuk merayakan rampungnya penggarapan patung itu. Semua penduduk kota datang, bersenang-senang, merayakan berdirinya patung megah dan membanggakan itu. Pamor si pematung pun turut terdongkrak naik, ia terkenal akan kualitas pahatan dan kejernihan serta kemiripan dalam patung-patung yang dibuatnya. 

Dalam cerita itu juga, Yeh Shentao mengisahkannya dari sudut pandang si patung dan batu-batu di sekitarnya. Lantaran dipandang dengan takjub dan bangga oleh penduduk kota, si patung batu pun merasa dirinya hebat, sebab ia memiliki derajat yang tinggi, yang jauh dari derajat batu-batu kecil yang menyangga tubuh patungnya. Ia melihat ke bawah, ke batu-batu itu dengan pandangan sombong, memandang mereka tidak lebih sebagai kroco yang tak ternilai harganya. 

Sementara dari sisi batu-batu kecil itu, mereka memandang kalau si patung batu itu kelewat besar kepala. Mereka mengingatkan betapa pada dasarnya, mereka toh sama-sama sebuah batu. Nilai mereka tetap sama kendati peran mereka berbeda. Tidak ada yang lebih unggul, lebih hebat, atau lebih berharga. Dengan kata lain, semuanya setara. Mereka mengingatkan si patung batu akan semua hal itu. Namun, si patung batu tetap kekeh bahwa ia lebih baik dari mereka, bahwa ia tidak akan pernah lagi setara atau sama kedudukannnya dengan batu-batu yang menyangga tubuh besarnya. 

Namun, apakah itu benar? Para batu kecil mengancam si patung besar, kalau mereka bisa saja bergeser, hingga membuat tubuh besar si patung rubuh. Si patung besar pun ketakutan dan ia berjanji tidak pernah meremehkan mereka lagi. Tapi, apakah janji itu ditepati? Oleh Yeh Shentao, cerita itu menunjukkan bahwa sekali lagi, si patung besar berlaku sombong. Dan, kali ini, ancaman para batu kecil bukan lagi sebagai gertakan semata, sebab memang mereka melakukan apa yang mereka ancamkan. Mereka menggeser tubuh mereka, dan patung besar pun jatuh, pecah berkeping-keping, terserak di alun-alun kota. 

Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Pada titik itulah, terlihat bahwa cerita ini mengandung analogi tentang perjuangan kelas yang disisipkan dalam kisahnya. Mengingat titingmasa cerita ini ada pada tahun 1929, yang kala itu China sedang membangun pemerintahan Komunis-nya, dan ideologi itu pula yang diamini oleh penulisnya, maka corak keseteraan kelas sosial bisa kita lihat dalam cerpen ini. Ada misi yang menginginkan semua kelas setara, yang kalau dalam teori Karl Marx, menghapus perbedaan di antara kaum berjouis dan proletar. 

Semuanya memiliki akses yang sama, nilai yang tidak berbeda, hingga tidak ada lagi kesenjangan di antara kaum pemilik modal dan usaha (berjouis) dengan kaum pekerja (proletar). Pesan itulah yang disematkan dalam cerita ini. Yeh Shengtao menyisipkannya secara halus, ia mengisahkan terlebih dahulu konflik antara dua kelas itu dengan menganalogikannya dengan si patung batu besar (kaum berjouis) dan para batu kecil (kaum proletar) yang berdialog satu sama lain, hingga mengakhirinya dengan kemenangan para batu kecil. 

Setelah itu, ia menggambarkan keadaan saat semuanya setara, yaitu saat si patung besar sudah pecah berkeping-keping, dan para penduduk menggunakan mereka sebagai bahan baku membuat jalan. Sekarang, mereka pun setara, memiliki peran, nilai, dan kedudukan yang sama. Hal itu menjadi representasi keadaan yang melegakan, membahagiakan. Seperti yang tergambarkan lewat dialog berikut ini: “Kini kita setara,” “Tidak ada lagi kepalsuan di antara kita,” dan “Kini kita telah bersatu padu untuk membangun jalanan, sehingga orang-orang bisa bepergian ke mana pun dengan hati riang.”

Tiga petikan dialog tersebut, kalau kita menganalisisnya lebih jauh lagi menunjukkan bahwa kesetaraan adalah sesuatu yang hendak dicapai demi masa depan yang lebih baik lagi. Frasa “Kini kita telah bersatu padu,” mengisyaratkan persatuan seluruh elemen kelas dan menyamakan kedudukan. Sementara frasa “untuk membangun jalanan” bisa dipahami sebagai tujuan bersama yang mesti dicapai, dan klausa terakhir “sehingga orang-orang bisa bepergian ke mana pun dengan hati riang,” bisa dimengerti sebagai capaian yang akan didapat kalau mereka bisa menghapus kelas dan menyamakan tujuan. 

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa dalam kumpulan cerita pendek atau cerpen "Orang-orangan Sawah" ini, Yeh Shentao tampak tidak membebaskan karyanya dari keadaan masyarakat pada saat itu. Ia menyisipkan pesan bahwa kesadaran akan kesetaraan kelas sosial penting adanya, juga kesamaan tujuan mesti dibangun demi masa depan yang lebih baik lagi.

Wahid Kurniawan