Perasaan yang terjalin antara seorang ibu dengan anaknya tak mungkin bisa dihapuskan oleh hal apapun. Meskipun harus terpisah jarak dan waktu yang membentang, namun hubungan non fisik yang terjalin antara keduanya akan tetap satu frekuensi dan tak mungkin bisa untuk dihilangkan. Seperti yang terjadi dalam kisah Layne dan ibu kandungnya dalam film dokumenter berjudul Mother Dearest ini. Film yang mengangkat kisah tentang perjalanan Layne kembali ke Korea Selatan untuk bertemu dengan ibu kandungnya tersebut membuktikan kekuatan hebat dari bahasa perasaan antara ibu dan anak ini dalam mengatasi berbagai perbedaan budaya dan bahasa.
Layne adalah seorang anak asal Korea Selatan yang diadopsi oleh keluarga asal Minesota, Amerika Serikat sedari kecil. Setelah lebih dari 40 tahun hidup bersama dengan keluarga angkatnya, Layne memutuskan untuk kembali ke Korea Selatan guna mengunjungi sang ibu. Setibanya di Korea Selatan, Layne mendapati kenyataan bahwa sang ibu didiagnosa menderita penyakit kanker payudara. Maka, mau tak mau Layne pun harus segera bisa membaur dengan sang ibu yang berbeda budaya dan juga bahasa dengannya.
Sulit? Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah kesulitan tersendiri. Tak hanya bagi Layne, namun juga bagi sang ibu. Perbedaan bahasa membuat keduanya kesulitan untuk berkomunikasi, sehingga membatasi pengungkapan perasaan mereka. Semula, mereka berdua menggunakan aplikasi penerjemah yang justru membuat mereka tertawa karena apa yang disapakan aplikasi tersebut terkadang tak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Hingga pada akhirnya, ibu dan anak ini tersadar bahwa, keduanya bisa saling memahami satu sama lain karena ternyata keduanya memiliki banyak kesamaan.
Iya, meskipun perbedaan bahasa membuat keduanya kesulitan untuk saling mengerti satu sama lain, namun pada akhirnya bahasa perasaan di antara keduanya-lah yang berperan penting sebagai perantara maksud dan juga tujuan yang mereka harapkan. Ikatan sebagai seorang ibu dan anak di antara mereka, terlihat jelas menyatukan, meskipun keduanya harus menjalani kehidupan yang terpisah lebih dari 40 tahun lamanya.
Layne pun menjadi semakin dekat dengan sang ibu, dan berusaha untuk memberikan semangat baginya untuk selalu yakin dan percaya akan mampu melewati penyakit kanker yang dideritanya.
Sepanjang 89 menit, melalui film ini kita akan dibawa untuk menyelami betapa emosionalnya hubungan Layne dan juga sang ibu kandung yang telah lama terpisahkan. Bahkan, dalam film ini, kita akan semakin percaya dengan adanya bahasa perasaan yang mampu menyatukan kedua tokoh utama dalam film yang direncanakan rilis pada pertengahan tahun 2022 ini. Sudah melakukan apa hari ini untuk ibu kamu?
Tag
Baca Juga
-
Liga Italia Serie A: Saat Eks MU dan Kiper Termahal Asia Kalah Kualitas dari Emil Audero
-
Emil Audero, Liga Italia Serie A dan Perjodohan Dirinya dengan Tim-Tim Medioker
-
Erick Thohir Jadi Menpora, Sebuah Keuntungan atau Kerugian bagi PSSI?
-
Emban Jabatan Menpora, Erick Thohir Harusnya Bisa Bawa PSSI Jauh Lebih Mengerikan!
-
Belum Juga Jera, AFC Kembali Bikin Ulah Jelang Bergulirnya Ronde Keempat Babak Kualifikasi
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus
-
Review Film Maryam: Teror dan Cinta Gaib yang Mengikat Jiwa!
-
Ulasan Novel Mayday, Mayday: Berani untuk Berdiri Setelah Apa yang Terjadi
-
Review Film Red Sonja: Petualangan Savage yang Liar!
-
Review Film DollHouse: Ketika Boneka Jadi Simbol Trauma yang Kelam
Terkini
-
4 Pelembab dengan Ekstrak Semangka untuk Rahasia Kulit Kenyal dan Cerah
-
Gen Z Sering Pakai Akun Alter di Medsos, Apa Sih Yang Dicari?
-
Effortless Abis! Intip 4 OOTD Kasual Kece ala Huening Bahiyyih Kep1er
-
Pendidikan Etika Digital sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
-
Liga Italia Serie A: Saat Eks MU dan Kiper Termahal Asia Kalah Kualitas dari Emil Audero