Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Juragan Haji (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Juragan Haji merangkum cerpen-cerpen terbaik anggitan Helvy Tiana Rosa. Tidak main-main, setidaknya tiga penghargaan bergengsi tingkat nasional disabet karya dosen Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Jakarta ini. Pertama, Pena Award 2002, Sepuluh Prosa Terbaik Khatulistiwa Literary Award 2008, dan Karya Sastra Unggulan dari Badan Standar Nasional Pendidikan, 2019.

Ada 17 cerpen dalam buku kumpulan ini (versi cetakan terbaru, ditambahkan satu cerpen lagi, berjudul Perempuan Kata-Kata, sehingga total 18). 

Nyaris semua cerpen mengambil setting di daerah konflik, dalam maupun luar negeri, seperti Aceh (Cut Vi, Pulang, Jaring-Jaring Merah), Sampit (Darahitam), Ambon (Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin), Timor Leste (Ze Akan Mati Ditembak!), Palestina (Hingga Batu Bicara), Bosnia-Herzegovina (Lorong Kematian), Rwanda (Kivu Bukavu). 

Topik-topiknya; chaos, disintegrasi bangsa, perselisihan antarumat bersama, pemberontakan, gangguan mental akibat perang saudara berkepanjangan. 

Pendek kata, topik yang diangkat, jelas bukan topik yang membuat nyaman pembaca. Ini menjadi trigger warning bagi pembaca yang sensitif atau punya trauma tersendiri dengan isu tersebut.

Dan karena mengangkat persoalan di daerah konflik, maka frasa seperti pemerkosaan, kepala berlubang karena peluru, mayat bergelimpangan, tengkorak, ceceran darah, atau darah muncrat, menjadi “lazim” tertera dalam cerpen.

Uniknya frasa-frasa tersebut, dengan kepiawaian Helvy memainkan bahasa, tidak berhenti sebatas pada kengerian saja, melainkan juga mengungkapkan keindahan yang puitik.

Simak pembukaan cerpen Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, “Malam mengelam. Mendekap Batu Merah dengan segala kegalauan. Gerimis turun menyapa sunyi. Mengencerkan ceceran darah, di sepanjang jalan. Mengusir asap kepedihan yang mengepul, dari bangunan yang telah menjadi arang.” (halaman 104).

Atau cerpen Jaring-Jaring Merah, “Dulu, setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tida tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan. Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari.” (halaman 165-166).

Kepiawaian memainkan bahasa tersebut, juga Helvy manfaatkan untuk mempertajam konflik psikologis yang dialami tokoh-tokoh rekaannya.

Dalam cerpen Jaring-Jaring Merah, sebagai korban perang, tokoh Aku berkata, “Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari meranggas lara.” (halaman 162).

Atau ungkapan konflik batin yang dialami Sih, mengetahui perselingkuhan suami, dalam Pertemuan di Taman Hening, “Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap.” (halaman 12).

Yang mengagumkan, kendati didera persoalan problematik yang bahkan mengancam nyawa, tokoh-tokoh perempuan dalam buku kumpulan ini, memiliki kegigihan dan vitalitas luar biasa guna melawan beragam himpitan. Misal, tokoh Cut Vi (Cut Vi, halaman 1-11), Gahara (Idis, halaman 27-40), Hanan (Hingga Batu Bicara, halaman 73-81), dan Nona (Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, halaman 104-113).

Membaca buku ini, dapat mengayakan pembaca akan beragam fakta seputar daerah konflik, yang kadang tak terberitakan atau sengaja tidak diberikan. Fakta-fakta tersebut Helvy gunakan, tidak sekadar untuk mengedukasi pembaca, tetapi juga mengajukan gugatan atas kelaliman dan kesewenang-wenangan, sekaligus mengasah empati pembaca agar semakin peduli terhadap persoalan kemanusiaan.

Thomas Utomo