Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Buku Hantu Kubah Hijau (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Buku Hantu Kubah Hijau ini ditulis oleh Sinta Yudisia. Dalam pengakuannya pada profil penulis di bagian akhir buku ini, ia adalah seorang yang ngeri terhadap hantu dan kegelapan, namun ia berusaha menaklukkan rasa takut itu dengan cara menuliskannya kembali. Ia suka sekali nonton film horo, tapi setiap kali melihat adegan yang menakutkan, ia mengintip dari celah jari jemarinya. Ia suka membaca dan menulis, juga suka belajar bahasa Jepang, Korea dan Perancis.

Buku seri pendidikan karakter untuk anak ini berkisah tentang Naya dan teman-temannya yang berani saat bersama-sama, namun kehilangan nyali ketika sendirian di tempat sunyi. 

Suatu ketika, saat libur sekolah, Naya yang tinggal di kota Surabaya, berlibur ke Tegal bersama kedua adiknya. Di sana Naya bertemu lagi dengan Leli, Subki, dan Banu. Liburan mereka pun jadi tambah mengasyikkan.

Naya dimanjakan jajanan tradisional oleh nenek. Di Tegal, Naya juga mengenal tempat-tempat bersejarah yang dikenal dengan sebutan Kiai Gentong, Masjid Kubah Hijau, dan Daerah Ki Gede Sebayu.

Namun, ketika mereka pergi ke Masjid Kubah Hijau, mereka ketakutan. Konon, kubah masjid itu merupakan hadiah dari Kerajaan Melayu pada ratusan tahun yang lalu. Teman-teman Naya bercerita soal sosok hantu yang seringkali muncul di menara itu. Sosok putih itu sangat bertolak belakang dengan warna malam yang hitam, situasi remang-remang, dan bangunan tua yang telah retak di sana-sini. 

Bayangan itu hanya muncul pada malam hari dan tak pernah ditemui oleh orang-orang di siang hari. Tak ada satu pun teman Naya yang berani melewati menara tua yang bersebelahan dengan bangunan Kubah Hijau. Apalagi pada malam hari. Namun, Naya sangat penasaran.

"Makhluk apa itu?" Naya mendesis.

Banu mencoba mengingat-ingat, mengerutkan kening, menaikkan alis dan menggosok-gosok telapak tangan.

"Sebuah bayangan putih berkelebat," Banu berujar pelan.

"Bayangan putih bagaimana?" desak Naya.

Leli melepaskan telunjuk dari telinga, lalu menutup wajahnya erat-erat.

"Hiiii... aku tidak mau dengar lagi!" seru Leli.

Naya tergelak tiba-tiba.

"Kalau kamu tidak mau mendengar, seharusnya menutup telinga, bukan wajahmu, Lel," ujar Naya (hlm. 70).

Demikianlah Naya terus penasaran dan ingin minta diantar menuju Masjid Kubah Hijau itu. Buku ini penting dibaca oleh anak-anak sebagai bacaan pendidikan karakter agar anak-anak mampu menaklukkan rasa takutnya sendiri, serta bisa bersikap berani dan membuktikan siapa yang lebih kuat antara hantu dan manusia.

Rozi Rista Aga Zidna