Menjalani kehidupan di tengah masyarakat dengan berbagai karakter memang tak mudah. Kita harus membekali diri dengan sifat-sifat terpuji atau perilaku yang tidak merugikan sesama.
Banyak sekali sifat tak terpuji yang harus kita hindari dalam hidup ini. Salah satunya ialah ‘merasa paling’. Sifat ‘merasa paling’ ini sangat berbahaya dan harus selalu kita waspadai. Misalnya, merasa paling pintar, paling pandai, paling alim, paling tahu hukum agama, dan menganggap orang lain tak tahu apa-apa alias bodoh.
Jangan sampai amal ibadah atau kebaikan yang kita lakukan malah membuat kita menjadi tinggi hati, merasa paling beribadah, paling banyak beramal, dan menganggap orang lain tidak pernah melakukan kebaikan. Jangan sampai kita menjadi manusia yang begitu mudah meremehkan amal ibadah orang lain.
Mestinya, amal ibadah yang kita lakukan justru membuat kita merasa masih kurang dalam beramal, sehingga hal ini akan semakin memotivasi kita untuk lebih banyak beramal lagi dan lagi.
Ada sebuah nasihat bijak yang saya temukan dalam buku “Islamku, Islammu, Islam Kita” karya Edi AH Iyubenu. Begini kutipan nasihatnya:
Anak-anakku, cemaslah pada amal-amal ibadahmu, yang kau sangka adalah kebaikan, padahal hakikatnya adalah kemaksiatan. Resahlah pada amal-amal kesalehanmu yang tak mengantarmu makin rendah hati kepada orang lain. Takutlah hanya kepada Allah! Niscaya dunia seisinya akan takut kepada hatimu yang seluas langit dan bumi.
Ketahuilah, bahwa hidup yang paling mengerikan adalah tatkala tubuhmu dekat pada-Nya tetapi hatimu jauh dari-Nya. Memohonlah tiga hal saja kepada-Nya: selalu dilindungi oleh Allah, selalu ditolong oleh Allah, dan selalu direndahkan hatimu oleh Allah.
Jangan serakah! Malulah pada Allah untuk meminta segala apa. Kau sungguh tak membutuhkan banyak, maka tak pantas kau meminta banyak, apalagi mengambil banyak.
Bila direnungi, nasihat Edi AH Iyubenu dalam buku terbitan Diva Press tersebut begitu dalam maknanya dan dapat dijadikan sebagai sarana introspeksi bersama. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu memperbaiki diri dan menghindari sifat ‘merasa paling benar’ atau ‘paling segalanya’ ketika bergaul dengan sesama manusia.
Baca Juga
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
-
Ulasan Buku Setengah Jalan, Koleksi Esai Komedi untuk Para Calon Komika
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan
-
Ulasan Novel 1984: Distopia yang Semakin Relevan di Dunia Modern
-
Ulasan Novel Harga Teman: Ketika Hasil Kerja Tidak di Hargai oleh Klien
-
Hidup dalam Empati, Gaya Hidup Reflektif dari Azimah: Derita Gadis Aleppo
-
KH. Hasyim Asy'ari: Tak Banyak Tercatat, Tapi Abadi di Hati Umat
Ulasan
-
Ulasan Novel Monster Minister: Romansa di Kementerian yang Tak Berujung
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan
-
Review Film Drop: Dinner Romantis Berujung Teror Notifikasi Maut
-
Pengepungan di Bukit Duri: Potret Luka Sosial di Balik Layar Sinema
-
Review Anime Bofuri, Main Game VRMMORPG yang Jauh dari Kata Serius
Terkini
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Miliki 2 Modal Besar untuk Permalukan Arab Saudi
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Lebih Siap untuk Menjadi Juara Dibandingkan Tim Tuan Rumah!
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia U-17 akan Tambah Pemain Diaspora Baru, Benarkah?
-
Taemin Buka Suara Soal Rumor Kencan dengan Noze, Minta Fans Tetap Percaya
-
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku