Semakin lama, semakin banyak guru yang ujug-ujug atau secara mendadak melahirkan buku karya pribadi, entah kumpulan puisi, antologi cerpen, atau kompilasi artikel pendidikan. Kesemuanya kemudian diajukan guna mendapatkan angka kredit untuk naik pangkat.
Muncul pertanyaan, bagaimana bisa, guru yang sebelumnya tidak atau jarang membaca, tiba-tiba bisa menghasilkan karya tulis, dalam waktu relatif singkat?
Tentu saja, bisa! Kata ‘bisa’ ini mengandung pengertian yang beragam. Ada yang bisa karena dipaksa, ada yang bisa karena dibuatkan orang lain (dengan imbalan sejumlah uang), ada yang copy paste atau salin rekat dari internet, ada pula tiba-tiba yang bisa menghasilkan buku setelah meminta siswa-siswanya menulis lalu semuanya dikumpulkan dan diaku-aku sebagai hasil karya guru bersangkutan.
Terdengar culas, untuk tiga hal yang disebut terakhir? Memang demikian faktanya di lapangan!
Persoalan berikut, dengan mengabaikan semua latar belakang; mengapa guru yang tidak karib dengan aksara mendadak ‘piawai’ menelurkan buku, adalah bagaimana buku-buku instan karya mereka bisa dilabeli ISBN atau international standar book number? Sekadar trivia, salah satu pertimbangan, buku karya guru dapat diajukan untuk angka kredit adalah memiliki ISBN itu tadi.
Nah, sekarang, menjamur di mana-mana yang dinamakan penerbit indie. Mereka dapat mencetak buku, bagaimana pun ragam kualitas di dalamnya, asal ada sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak berkepentingan.
Ini berkebalikan dengan dulu: ketika penulis menghasilkan karya, dia dibayar dengan royalti atas hasil kerja intelektualnya tersebut. Sekarang justru untuk menerbitkan hasil kerja ‘intelektual’ guru justru harus menggelontorkan sejumlah duit.
Sejumlah fenomena aneh tapi nyata inilah yang (di antaranya) disoroti dalam buku bersampul oranye. Buku setebal iv + 138 halaman ini disusun oleh dua puluh satu guru yang menahbiskan dirinya sebagai penulis, mulai dari guru SD, SMP, ada pula kepala sekolah dan dosen.
Keberagaman latar belakang penulis, membuat buku ini pun memuat pandangan yang relatif berbeda. Kendati berbeda, kesemuanya, dapat disimpulkan sepakat bahwa menjadi guru yang penulis itu penting, karena menulis itu salah satu keterampilan utama di abad mutakhir.
Namun tentu saja, guna menghasilkan tulisan yang bermutu, guru harus memiliki bahan bakar berupa referensi yang berkualitas pula, tingkat ketelatenan yang pekat, dan jangan tergiur jadi ‘penulis instan’ lewat cara-cara tak terpuji seperti telah diuraikan di atas.
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Full Senyum! Prabowo Umumkan Guru Honorer Dapat Tunjangan Rp 2 Juta di Hari Guru Nasional
-
Ikut Gembira Guru Supriyani Divonis Bebas, Mendikdasmen Abdul Mu'ti: Mudah-mudahan Ini Kasus Terakhir
-
Prabowo Panggil Mendikdasmen Abdul Mu'ti ke Istana, Bahas Persoalan Gaji Guru dan Sistem Zonasi
-
Potret Pak Ribut, Guru Honorer Viral yang Gak Percaya Sapi Makan Martabak
-
Guru Indonesia Terapkan AI, Matematika Jadi Lebih Menyenangkan!
Ulasan
-
Review Film Heretic, Hugh Grant Jadi Penguji Keyakinan dan Agama
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Review Film Totally Killer: Mencari Pembunuh Berantai Ke Masa Lalu
-
Review Film Aftermath, saat Terjadi Penyanderaan di Jembatan Boston
-
Review Film 'Satu Hari dengan Ibu' yang Sarat Makna, Kini Tersedia di Vidio
Terkini
-
3 Rekomendasi Two Way Cake Lokal dengan Banyak Pilihan Shade, Anti-Bingung!
-
4 Daily OOTD Simpel nan Modis ala Chae Soo-bin untuk Inspirasi Harianmu!
-
3 Peel Off Mask yang Mengandung Collagen, Bikin Wajah Glowing dan Awet Muda
-
4 Rekomendasi Lagu Romantis Jadul Milik Justin Bieber, Ada Tema Natal!
-
Gadget di Tangan, Keluarga di Angan: Paradoks Kemajuan Teknologi