Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy
Gambar Buku "Dari Allah Menuju Allah" (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Kebijaksaan hidup bisa kita peroleh dari mana. Termasuk dari para penyair. Namun bukan penyair sembarang penyair, melainkan para penyair yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, seperti Rumi.

Rumi begitu orang-orang memanggilnya. Nama lengkapnya, sebagaimana dikutip merdeka.com, adalah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (atau yang lebih dikenal dengan Jalaluddin Rumi) adalah salah seorang tokoh sufi yang paling terkenal pada zamannya. Beliau lahir di Samarkand, 6 Rabiul Awwal 604 H atau 30 September 1207 M.

Rumi merupakan penyair sufi yang telah memiliki banyak karya sastra, salah satu karyanya yang terkenal adalah kumpulan puisinya al-Matsnawi  al-Maknawi. Melalui karya tersebut, Rumi menjadi salah seorang penyair sufi paling besar. Konon, karya tersebut juga dianggap sebagai revolusi terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya (merdeka.com).

Dalam buku berjudul “Dari Allah Menuju Allah” yang diterbitkan oleh Noura Books (2019) ini, Haidar Bagir berusaha menjelaskan secara ringkas, populer, dan sistematis prinsip-prinsip tasawuf melalui keindahan puisi-puisi Rumi.  

Berikut ini, salah satu petikan puisi Rumi yang dibahas oleh Haidar Bagir dalam buku ini:

Kumenyelam ke dalam 

samudra, 

tak kutemukan mutiara

seperti-Mu.

Kubuka ribuan botol,

hanya gelegak anggur-Mu

sentuh bibirku,

ilhami hatiku.

Bagaimana aroma Yusuf 

sampai ke Ya’qub?

Huuu....

Bagaimana penglihatan 

Ya’qub kembali?

Huuu....

Embusan lembut angin,

bersihkan matanya.

Huuu....    

(Belajar Hidup dari Rumi, hlm. 24-25).

Menurut Haidar Bagir, bait pertama puisi ini seungguhnya hanya mengulangi dengan cara lain simbolisme keindahan Allah, yang menimbulkan kerinduan bagi seorang sufi untuk berjalan menuju-Nya. Kali ini Rumi tidak lagi menggunakan simbolisme keindahan tanam-tanaman dan buah-buahan. Tapi, Rumi menggambarkan Allah sebagai mutiara keindahan.

Jika kita lihat dari perspektif kategori sifat Allah, maka dalam puisi ini Rumi memandang-Nya dari perspektif sifat tasybih (keberbedaan), bukan tanzih (keserupaan): Allah adalah Keindahan yang bisa dirasakan oleh manusia. Sifat tasybih itu memungkinkan permisalan, sementara sifat tanzih Allah membuat-Nya tidak terjangkau dan tak termisalkan (hlm. 151-152).

Terbitnya buku karya Haidar Bagir ini sangat menarik dijadikan sebagai sarana permenungan bagi kita semua. Dalam buku ini, kita bisa belajar kebijaksanaan hidup lewat puisi-puisi indah Jalaluddin Rumi.

Sam Edy