Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sam Edy
Ilustrasi Buku "Bully Aja, I don’t Care!". (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Apa pun alasannya pembullyan adalah sebuah perilaku buruk yang mestinya dihindari oleh setiap orang. Pembullyan di sini baik secara ucapan seperti mencaci maki, maupun tindakan seperti menampar atau memukul orang lain.

Kita bisa membaca kisah menarik dan inspiratif dalam buku karya Dwi Sutarjantono berjudul “Bully Aja, I don’t Care!”. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (2019) ini mengisahkan seorang anak bernama Brandon Tanu yang pernah mengalami masa-masa yang tak mengenakkan di masa kecil. 

BACA JUGA: Buku 'Mawar Hitam', Kisah Permainan Bahasa yang Membuat Pembaca Terpesona

Jadi, ketika masih kecil, Brandon kerap mengalami pembullyan dari teman-temannya. Bahkan, ada seorang guru yang jelas-jelas mengucapkan kata-kata bully-an di depan Brandon dan orangtuanya.

Brandon mengalami pembullyan dari teman-temannya mungkin karena dia dianggap berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ya, Brandon memang mengalami banyak masalah di masa kecilnya. Dia didiagnosis memiliki mild ADHD (Attention-Deficit Hyperactivity Disorder). Artinya, dia selalu aktif, tidak bisa diam, susah untuk fokus, dan sangat kesulitan jika harus menulis. 

Brandon mengalami kesulitan menulis dalam arti sebenarnya. Untuk membuat tulisan pendek saja, dia berpikir sangat lama saat menuliskan satu kata pertama. Tapi dia memiliki keistimewaan, kalau berbicara dengan runtut dan rapi, dia tidak harus banyak berpikir.

Menurut Brandon, salah satu tidak enaknya seseorang dengan ADHD adalah tidak bisa berhenti berpikir sehingga sulit untuk tidur alias insomnia. Terkadang, dia kesulitan tidur hingga pukul 3 atau 4 pagi karena tidak bisa berhenti berpikir.

BACA JUGA: Ulasan Buku 'Kotak Waktu': Cara Terbaik untuk Menyikapi Sebuah Kenangan

Beruntung Brandon hidup bersama orangtua yang menyayangi dan benar-benar memperhatikan kondisinya. Saat kelas empat SD dia didaftarkan ibunya di public speaking workshop dan “Character-buliding” training camp. Program pelatihan yang dirancang khusus anak-anak dan remaja ini dilakukan selama dua hari satu malam dengan menginap di tenda. 

Dalam program tersebut, Brandon dipandu oleh seorang guru yang bijak, James Gwee. Brandon biasa memanggilnya Uncle. Uncle James adalah termasuk sosok yang menginspirasi baginya.

Dalam training tersebut, Uncle James mengajari anak-anak agar percaya diri, pandai berkomunikasi, memiliki sifat pantang menyerah, memiliki jiwa kepemimpinan, dan bisa bertanggung jawab, termasuk soal keuangan. Singkatnya, Uncle James berusaha membangun karakter anak-anak.

Kisah Brandon dan Uncle James yang dikisahkan oleh Dwi Sutarjantono dalam buku ini masih panjang. Melalui buku ini, Brandon ingin berbagi, agar jangan takut menjadi berbeda. Semua orang berbeda. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mengakui kelemahan bukan berarti kita lemah. Bagi Brandon, selalu ada cara untuk mengatasi masalah dan mencapai sesuatu yang baru, yang lebih baik, sesulit apa pun, sehingga kita pun bisa berseru, “Yes, i can! Atau “Bully aja, i don’t care!”

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sam Edy