Lebih Senyap dari Bisikan adalah buku fiksi yang ditulis oleh Andina Dwifatma. Novel ini bercerita mengenai dinamika kehidupan keluarga dari pasangan muda beserta konflik-konflik yang seringkali terjadi di kehidupan nyata.
Saya pikir, novel ini adalah sentilan satire yang sengaja diungkapkan oleh penulis terkait banyaknya hal yang menjadi tuntutan sosial. Misalnya ketika tokoh utama, Baron dan Amara yang awalnya hidup bahagia sebagai pasangan suami istri mulai dihantui dengan pertanyaan mengenai kapan punya anak.
Padahal, sebelumnya hidup mereka baik-baik saja. Amara yang mulai terusik dengan tuntutan tersebut berusaha sekuat tenaga dengan berbagai upaya yang dilakukannya untuk bisa punya anak.
Dan ternyata, setelah punya anak, kehidupan seperti yang mereka bayangkan tidaklah seindah yang mereka pikirkan. Mulailah satu persatu konflik berdatangan, membentuk jalinan-jalinan benang kusut.
Dimulai saat kehidupan yang dijalani Amara sebagai ibu baru yang serba merepotkan. Baby blues, kondisi finansial yang merosot, serta harus menghadapi sikap egois Baron, yang merupakan suaminya.
Novel ini betul-betul meninggalkan perasaan hampa di hati saya. Sebagai seorang perempuan, saya juga merasakan apa yang dirasakan oleh Amara. Dan mungkin ada banyak orang yang juga merasakan demikian. Khususnya ketika telah menjadi istri sekaligus ibu.
Ada banyak peran yang menuntut seorang perempuan agar selalu kuat. Dibalik stigma bahwa perempuan itu mahluk yang lemah dan rapuh, namun ternyata kenyataan menampar kita bahwa menjadi seorang perempuan itu dituntut untuk tegar dan kuat.
Amara kehilangan pekerjaannya untuk fokus mengurus anak, harus begadang setiap malam demi menyusui bayi, merasakan banyak sekali ketakutan selama menjadi seorang ibu baru, depresi pasca melahirkan, belum lagi harus menjadi sosok yang tetap 'waras' ketika suaminya memilih untuk pergi dan meninggalkan tanggung jawabnya.
Sehancur apapun hidupmu, besok-besok jika telah menjadi ibu, kamulah satu-satunya tempat berlindung dari anakmu. Sebagaimana yang dijalani oleh Amara.
Lebih Senyap dari Bisikan ini benar-benar menguras emosi. Tapi di satu sisi, penulis berhasil mewakili banyaknya suara dari seorang perempuan melalui kisah perjalanan rumah tangga Amara dan Baron.
Novel ini benar-benar recommended untuk dibaca. Sebuah novel singkat yang bisa membuat kita kembali merenung dan menyadari, bahwa menjadi seorang perempuan, istri, dan ibu itu adalah sebuah perjuangan besar. Dan tetap bisa berdiri tegar walau seberapa besar pun badai yang menghempas adalah kekuatan yang terkadang tidak disadari oleh banyak perempuan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Tag
Baca Juga
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Ulasan Buku Patah Paling Ikhlas, Kumpulan Quotes Menenangkan Saat Galau
-
Ulasan Buku Bucket List: Khayal-Khayal Dahulu, Keliling Dunia Kemudian
-
Ulasan Buku Tahu Gak Tahu, Bahas Fenomena Sosial Lewat Ilustrasi yang Unik
-
Ulasan Buku Perkabungan untuk Cinta, Ungkap Perasaan Duka Saat Ditinggalkan
Artikel Terkait
-
'Milih Imam Kok Wedok?': Seksis dan Diskriminasi Warnai Pilkada 2024
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Novel Bungkam Suara: Memberikan Ruang bagi Individu untuk Berpendapat
-
Belajar Merancang Sebuah Bisnis dari Buku She Minds Her Own Business
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
Ulasan
-
Review Film Heretic, Hugh Grant Jadi Penguji Keyakinan dan Agama
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Review Film Totally Killer: Mencari Pembunuh Berantai Ke Masa Lalu
-
Review Film Aftermath, saat Terjadi Penyanderaan di Jembatan Boston
-
Review Film 'Satu Hari dengan Ibu' yang Sarat Makna, Kini Tersedia di Vidio
Terkini
-
3 Rekomendasi Two Way Cake Lokal dengan Banyak Pilihan Shade, Anti-Bingung!
-
4 Daily OOTD Simpel nan Modis ala Chae Soo-bin untuk Inspirasi Harianmu!
-
3 Peel Off Mask yang Mengandung Collagen, Bikin Wajah Glowing dan Awet Muda
-
4 Rekomendasi Lagu Romantis Jadul Milik Justin Bieber, Ada Tema Natal!
-
Gadget di Tangan, Keluarga di Angan: Paradoks Kemajuan Teknologi